Akrobat Perpolitikan yang Erotis
2013-02-25
Oleh : Nasreen ega
Akrobat perpolitikan di Indonesia kian memanas. Bagaikan panggung yang menyuguhkan erotisme dengan sensasi yang mengundang klimaks para penontonnya. Rupanya sutradara dibalik panggung yang menyuguhkan tarian-tarian akrobatik para pemainnya tak kunjung usai menggarap tarian akrobatik berikutnya. Belum selesai kasus satu, muncul kasus berikutnya seakan selalu mengikuti hukum yang berlaku. Tak enak jika tak menggenapi. Satu digenapi oleh dua, dan dua digenapi oleh tiga begitu seterusnya dan seterusnya.
Ada apa dengan akal sehat negeri ini? Menyambut pilpres 2014 rupanya intermezzo-intermezzo mulai dimunculkan. Entah dengan kepentingan siapa, namun pastinya dengan motivasi kepentingan yang sama. Kepentingan untuk berkuasa. Hal tersebut sangat mungkin untuk diindikasikan sebagai motivasi para oknum dan elite penguasa di negeri ini untuk mencapai kekuasaanya. Seperti yang pernah digambarkan oleh Machiavelli bahwa kekuasaan adalah alat untuk mengabdi pada kekuasaan. Sementara untuk meraih kekuasaan itu sendiri adalah bagaimana caranya untuk menuju sebuah kepentingan negara sehingga pada hal ini Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya seperti keadilan, kebebasan dan kebaikan bagi warga negara. Tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan etika kekuasaan di negara demokrasi, dimana rakyat menjadi sebuah sentral dari sebuah kekuasaan itu sendiri.
Kasus-kasus yang kian merebak dari mulai korupsi impor daging sapi, kasus pesta pora narkotika yang secara langsung diungkap dan dijarah oleh BNN (Lho kenapa BNN?!) hingga kasus yang sampai pada hari ini masih diperdebatkan secara rigid mengenai kasus hambalang. Ada-ada saja memang. Seperti kutipan lagu regeae yang sering dinyanyikan oleh pengamen-pengamen jalanan “Negerinya pakar pesulap, suka menyulap apa saja dari gak ada hingga di ada-ada, dari yang ada hingga tiada”.
Begitulah kiranya kondisi bangsa ini, kasus-kasus yang disajikan di panggung hiburan akrobat perpolitikan ini-pun tidak mampu secara gamblang dimaknai dengan arif dan bijaksana oleh para penegak hukum dan lembaga-lembaga yang bertugas membantu jalannya roda hukum di Negara. Mungkin wajar, jika para penonton sederetan kasus-kasus yang terjadi ini adalah masyarakat awam. Jelas saja, wong baca tulis saja tidak khatam akibat pendidikan tidak memadai diakibatkan ulah para elite diatas sana yang “dengan sangat apik” mengatur dana dan budgeting untuk itu sehingga mereka tidak paham dan tidak mampu melihat melalui bingkai kacamata dan analisis-analisis rigid untuk kasus yang berserakan bak sampah itu. Namun lain halnya dengan para elite dan penegak hukum yang khatam baca tulis. Seharusnya mereka sepuluh tingkat lebih maju dibanding masyarakat awam. Lha ini kok sama saja! Atau memang benar teori politik dari seorang Machiavelli bahwasanya untuk meraih kekuasaan itu diraih dengan cara apa saja tanpa mengindahkan etika-etika berdemokrasi. Dalam bahasa sarkasnya “Menghalalkan segala macam cara” sehingga ketidak-pahaman itu hanya sebagian dari metode untuk meraih sebuah kepentingan.
Maklum, dan dimaklumi. Ya.. lagi-lagi kata itu yang harus diucapkan rakyat sambil mengelus dada. Kasus-kasus yang bertebaran hari ini seolah menutupi lembar cacat pada kasus-kasus sebelumnya yang belum sempat terselesaikan (belum sempat terselesaikan ataukah sengaja ditunda dan alihkan?!)
Entahlah, antrian kasus apalagi yang akan kembali disuguhkan pasca ini… semoga saja para sutradara di balik kasus-kasus ini memiliki sedikit hati nurani, ketika harus mengorbankan rakyat kecil demi cita-cita “Luhur” mereka. Juga untuk para penegak hukum di negeri ini, silahkan lakukan yang seharusnya dilakukan. Hukum jika memang terbukti bersalah, dan bebaskan jika indikasi itu tidak mengarah, namun stop intervensi. Pilpres 2014 mendatang bukanlah sebuah kompetisi bagi para monster-monster yang rakus akan kekuasaan sehingga mampu membunuh dan menerkam siapa saja. Intermezzo yang diluncurkan pada hari ini-pun cenderung sangat berlebihan, tak melihat sisi penderitaan rakyat dan sudah seharusnya disudahi.
*Penulis adalah Kohati HMI Cabang Ciputat, HMI Komisariat Psikologi Cabang Ciputat dan Mahasiswa Aktif Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta