BANTU MEROBOHKAN TEMBOK BESAR INFERIORITAS PEREMPUAN
2013-02-25
(Sebuah refleksi pencapaian inferioritas ke superioritas pada perempuan)
Oleh :(Nasreen-ega)
Bercermin pada masa lalu dan kekinian
Perempuan dan emansipasi rupanya bukan hal yang asing lagi di jaman sekarang ini. perempuan dengan tuntutan keadilan gender seakan telah merebak dengan semua konsepsi dan pada akhirnya mampu membuat sedikit perubahan yang mencerahkan walau tak semua orang dapat tersentuh olehnya. Meminjam istilah Dawam Rahardjo dengan profetik minority-nya yaitu sekelompok atau sebagian orang yang membawa pencerahan-inilah yang mampu dimaknai dengan kondisi sadar keadilan gender pada masa ini. Isu –isu gender telah menjadi perbincangan asyik di ranah konsepsi maupun praktis. Banyak gembar-gembor advokasi terhadap pendiskriminasian perempuan, banyak pula penegakan hak asasi manusia bagi perempuan. Dan secara nyata banyak sekali pejuang-pejuang emansipasi wanita yang lahir akibat sadar keadilan gender.
Melihat potret emansipasi yang dahulu dilakukan oleh Kartini, pada bagian inilah pencetus semangat perubahan pada perempuan bermunculan. Bagaimana seorang kartini dahulu memulai perjuangannya dengan mematahkan stigma masyarakat bahwa perempuan tak layak bersekolah tinggi, pembedaan hak istimewa antara laki-laki dan perempuan, dan semua pendiskriminasian terhadap perempuan pada kebudayaan patriarki.
Eranya Perempuan
Anggap kita telah khatam pada problem konteks keadilan gender. Dimana kita sebagai perempuan menggugat kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan sector lainnya. Anggaplah kita telah lulus dan memahami semua konteks kesedihan dan kemirisan perempuan menjadi “second line” dan harus didominasi pada budaya yang mengakar di masyarakat yaitu budaya patriarki yang berkembang pesat. Anggaplah tak perlu diragukan lagi pemahaman kita bahwa betapa ironisnya perempuan menjadi sosok yang dimarginalisasikan serta dibebankan oleh beban peran ganda ketika perempuan menuntut eksistensi di ranah publik tapi juga diberatkan dalam ranah domestik. Anggap juga semua perjuangan atas advokasi sebagai perempuan terhadap eksploitasi dan pelecehan serta kekerasan terhadapnya telah kita sama-sama pertaruhkan.
Dengan berjalannnya waktu, seluruh advokasi dan sadar keadilan gender yang sering di advokasi oleh para prophetic minority ini membuat pergerakan dari kaum perempuan semakin revolusioner serta progress, seperti yang dikemukakan futurolog John Naisbitt bahwa pada abad ke-21 adalah abadnya kaum perempuan. Seperti benar adanya tak dapat kita pungkiri bahwa sebagian sektor di wilayah publik dapat dipegang oleh perempuan. Seperti contoh khususnya di Indonesia saat kepemerintahan Mantan presiden Megawati, hal ini menjadi tonggak emas setaranya kedudukan antara laki-laki dan perempuan dengan kata lain semua berkesempatan menjadi presiden Indonesia. Kemudian banyak kemajuan-kemajuan lainnya seperti kesempatan menempati kursi-kursi di kepemerintahan bagi perempuan meskipun hal tersebut belum cukup optimal. Namun hal tersebut cukup banyak membuktikan bahwa perempuan mampu bersaing di ruang eksistensi.
Lihat dari dekat
Memang benar adanya walaupun telah banyak kemajuan pada perempuan tetapi masih banyak pula kekurangan disana sini menanggapi keadilan gender. Pelecehan, eksploitasi, kekerasan dan konteks ketidakadilan lainnya masih sering kita jumpai. Namun pada konteks ini penulis meminta untuk mengesampingkan terlebih dahulu isu tersebut. Saat ini kita akan mencoba untuk bercermin dan merefleksikan sejauh mana kita mengamini pemahaman kita sebagai sebagian orang yang peduli akan keadilan gender.
Banyak hal yang ironis dan menjadi distorsi pada saat kita para pejuang gender meng-advokasi konteks kesetaraan gender. Contohnya sebagian perempuan yang merasa bahwa dirinya tidak berdaya melakukan hal-hal yang dianggap berat, Seperti dalam konteks pemikiran. Tidak jarang perempuan-perempuan saat ini merasa bahwa pembicaraan berat seputar Negara, politik dan ranah publik adalah wilayah pembicaraan laki-laki. Tak jarang kita menemukan perempuan yang merasa tak mampu mengungkapkan pendapat pada sebuah forum yang dihadiri oleh banyak lelaki dikarenakan malu dan merasa rendah. Tak jarang pula kita melihat banyak perempuan beranggapan bahwa jika ada dirinya dan laki-laki dalam suatu forum maka mereka lebih memilih untuk dipimpin atau diarahkan oleh lelaki tersebut. Tak jarang juga kita temukan bahwa perempuan juga sering mengkotak-kotakan bahwa lelaki memang bertugas berpikir dan mengemukakan ide perubahan sementara perempuan hanya mengamini dan merasa bahwa memang tugas seorang perempuan adalah istiqomah dan harus penuh kesantunan dalam bertindak. Oleh karena itu perempuan merasa lebih perlu mempunyai malu daripada tampil di muka.
Hal ini sangat disayangkan, perasaan inferior seperti itu tak sedikit kita jumpai pada keadaan real saat ini. Padahal sebenarnya perempuan-perempuan itu memiliki fitrah dan potensi yang sama bahkan dapat melebihi laki-laki. Rasa inferior inilah sebenarnya yang menjadi tembok besar yang menghalangi kesadaran dalam stigma perempuan itu sendiri. Menurut Alfred Adler, inferioritas adalah perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas yang perlu diselesaikan. Dalam kata lain perempuan yang memiliki stigma seperti itu beranggapan bahwa ia merasa dan melabelkan bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah. Meskipun pelabelan tersebut adalah akibat dari konstruksi masyarakat.
Robohkan Tembok besar dan susupi cahaya
Menurut Adler pula, perasaan inferioritas ini sebenarnya telah melahirkan perjuangan superioritas. Perasaan inferioritas ada pada semua orang, karena manusia mulai hidup sebagai makhluk yang kecil dan lemah. Tanpa terkecuali baik laki-laki maupun perempuan. Bagi Adler, kehidupan manusia dimotivasi oleh suatu dorongan utama yaitu dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior. Jadi tingkah laku itu ditentukan oleh pandangan mengenai masa depan, tujuan dan harapan kita. Mungkin awalnya di dorong oleh perasaan inferior terlebih dahulu dan ditarik keinginan untuk menjadi superior. Maka hal itu membuat setiap orang mencoba hidup sesempurna mungkin. Begitulah konsepsi yang seharusnya juga ikut kita perjuangkan. Bagaimana membantu mencapai puncak superioritas bagi seorang perempuan apalagi dengan stigma yang telah melekat di dalamnya.
Akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama sebagai pejuang yang peduli akan kesetaraan gender, kita mencoba untuk merekonstruksikan dari dalam. Ketika kita telah mahir memperjuangkan hak dan advokasi, maka kita tak boleh lupa bahwasanya akan menjadi hal yang sia-sia untuk diperjuangkan apabila stigma dan pandangan sebagian kaum perempuan masih dibentengi dengan tembok besar yang menghalangi masuknya sinar penerangan bagi kesetaraan gender. Tugas kita bersama sebagai prophetic minority untuk membiaskan cahaya-cahaya pemikiran yang mencerahkan.