CAHAYA MATAHARI DI KEBAYORAN LAMA
2013-02-25
(Menggairahkan Gerakan Pembaharuan Muhamamdiyah di Tingkat Akar Rumput)
Oleh: Megawaty (Nasreen-ega)
(Kader Muhammadiyah)
Tulisan ini dipersembahkan pada Musyawarah Cabang (Muscab)
Muhammadiyah Kebayoran Lama periode 2010-2015
Pendahuluan: Warisan Pencerahan Muhammadiyah
Menjelang muscab muhammadiyah cabang kebayoran lama, tak ada lagi yang penting untuk kita harapkan kecuali tetap terpeliharanya nilai-nilai dasar kemuhammadiyahan. Ya, mungkin itu saja sudah cukup. Mengingat dari nilai-nilai dasar bermuhammadiyah—seperti keikhlasan, tajdid, dan amal sholeh—inilah kita masih bisa berharap dengan sepenuh hati pada gerakan islam tertua di Indonesia ini.
Betapa tidak, Indonesia hari ini sudah sangat carut marut. Meminjam bahasa Sindhunata dalam artikelnya di kompas, inilah negeri para celeng (babi hutan), sebuah istilah yang sarkastik dan sangat nakal, tetapi benar. Setiap tokoh setiap stakeholder di negeri ini, berperilaku bak celeng, tidak memandang para politisinya hingga—mohon maaf—para agamawannya. Ironis, mengingat Indonesia yang 88 persen lebih berpenduduk muslim tetapi perilakunya mirip celeng. Maka wajar bila pada paragraf pertama di atas penulis nyatakan kita masih perlu berharap pada muhammadiyah, mengingat usianya yang jauh lebih senior (33 tahun lebih tua) ketimbang indonesia.
Betulkah kita masih bisa berharap pada muhammadiyah? Sejarah telah mencatat, Indonesia mustahil melupakan jasa para tokoh pendiri muhammadiyah, terutama K.H. Ahmad Dahlan yang khalayak ramai akhir-akhir ini mengenal beliau sebagai “sang pencerah”. Negara ini pun memberinya gelar pahlawan nasional yang sisi nasionalismenya jelas tidak bisa diragukan lagi. Menariknya, ahmad dahlan tidak satu pun meninggalkan karya intelektual, yang beliau ajarkan hanyalah nilai-nilai sederhana seperti ikhlas (meniatkan segala tindakan hanya untuk Allah), amal sholeh, dan berfikiran terbuka (tajdid), serta kelompok komit terhadap gerakan amar ma’ruf nahi munkar (Ali-Imron: 104). Tetapi justru nilai-nilai yang bersumber dari islam (baca: al-quran dan al-hadits) inilah yang menjadi pangkal pencerahan pemikiran beliau termasuk muhammadiyah yang beliau wariskan kepada kita.
Seperti yang juga dicatat oleh sejarah, penjajahan colonial Belanda tidak hanya meninggalkan kerugian material, tetapi yang lebih parah adalah mental. Orang-orang inlander (begitulah belanda menyebut kakek-nenek kita) sengaja dibodohkan dengan tidak diberi akses pendidikan dan ditumbuh kembangkan takhayul, bid’ah, khurafat. Dengan tetap bodoh maka orang-orang Indonesia bisa tetap dijajah. Dalam situasi yang seperti ini K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan sesuatu yang sangat sederhana, yakni pencerdasan dengan kembali pada sumber suci islam, al-quran dan al-hadits. Lebih jauh, nilai-nilai itu menurut beliau tidak akan berarti apa-apa kalau tidak diwujudkan secara nyata lewat keikhlasan hati dan amal sholeh. Seperti yang beliau selalu wanti-wantikan, “hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Inilah pencerahan dan inilah semangat dasar membangun Indonesia merdeka dan inilah semangat awal gerakan Muhammadiyah. Meminjam istilah Dr. Djainuri dalam desertasinya, inilah “ideology kaum reformis” (Djainuri: 2002).
Pencerahan Yang Meredup
Bagaimana dengan Muhammadiyah hari ini? Memang betul tidak ada yang betul-betul ideal di dunia ini, kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Dari belajar sejarah inilah kita bisa bercermin seperti apa wajah kita, warga persyarikatan muhammadiyah, hari ini. Umum menjadi persoalan di internal Muhammadiyah, mulai berkembang sejumlah orang yang memang sengaja mencari penghidupan di amal usaha namun tanpa memperhatikan sama sekali perkembangan nilai dakwahnya. Disinyalir, kelompok pragmatis ini, sebutlah begitu, adalah orang-orang yang notabene tidak tahu-menahu soal muhammadiyah dengan segala nilainya. Sayangnya, tidak jarang dari mereka ini menempati posisi penting yang memegang kebijakan persyarikatan.
Ini juga yang disinyalir sebagai salah satu factor utama terjadinya konflik internal di muhammadiyah, antara kelompok yang memang memiliki visi persyarikatan dan mereka yang sengaja cari penghidupan. Jelas ini yang kita sayangkan.
Maka wajar hari ini public menilai muhammadiyah tengah mengalami suatu pergeseran, mundur dan cenderung mandeg, terutama pada level pergerakan dan pemikiran, muhammadiyah sudah tidak secerah dulu lagi. Gerakan Tajdid yang disusung sebagai platform organisasi ini nyaris hilang peran dan fungsinya. Bahkan elemen –elemen di dalamnya pun tidak jarang kita dengar telah terseret ke dunia politik yang prgamatis dan tanpa visi. Kepentingan dan intrik semakin mendominasi persyarikatan ini. Bersuara ketika ada kepentingan, peduli ketika membutuhkan. Seakan tak ada hal lain yang bisa diapresiasi,
Tetapi dalam kadar-kadar tertentu kita bisa memaklumi situasi ini. Kenapa? Karena memang muhammadiyah hari ini sudah memiliki aset yang melimpah, baik yang berupa amal usaha, sumber daya manusia dan jaringan social-politik. Berlaku pepatah “ada gula ada semut”. Setidaknya inilah yang seringkali dilontarkan oleh para pengamat dalam menilai muhammadiyah. Tapi untunglah kita di muhammadiyah ini masih menjaga nilai demokrasi dan transparansi di setiap musyawarah. Maka momen musyawarah menjadi sangat penting untuk perbaikan persyarikatan.
Menggairahkan Kembali Gerakan Pembaharuan
Merujuk pada moment musyawarah cabang yang akan berlangsung saat ini di kebayoran lama, dimana regenerasi yang akan menentukan ujung tombak kualitas kepemimpinan selanjutnya dimulai. Maka kita perlu mentelaah setiap visi dan misi yang ditawarkan oleh masing-masing calon pemimpin kita di persyarikatan Muhammadiyah cabang kebayoran lama. Bagaimana agar para calon dapat mengimplementasikan dasar-dasar perjuangan yang telah dibangun oleh KH.Ahmad Dahlan. Beranjak dari level nilai dasar dan visi perjuangannya kemudian kita akan merujuk pada konteks ke-Indonesiaan-nya, pemaksimalan potensi kader dan kepekaan terhadap persoalan ummat di tingkat grassroot,
Memaknai nilai-nilai Muhammadiyah tidaklah sulit bagi kita yang “menyayangi” muhammadiyah dengan sepenuh hati. Betapa tidak, nilai-nilai tersebut tidak bersifat teoritik yang rumit. Apa yang susah untuk memahami keikhlasan dan amal sholeh, terlebih dalam bentuknya yang paling sederhana. Ketika merasa bahwa muhammadiyah adalah rumah kita, tentunya kita akan menghias dan memberikan yang terbaik untuk rumah kita itu. Hanya keikhlasan dan amal soleh ini menuntut komitmen kita sebagai individu dan ummat (baca: kelompok).
Nah, dari pemaparan di atas, penting kiranya bagi kita warga persyarikatan muhammadiyah cabang kebayoran lama untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran yang terlalu jauh. Bagaimana agar musyawarah cabang ini tidak sepenuhnya bernuansa politik, bahkan kalau perlu nuansa politik tersebut dihilangkan sama sekali serta berganti dengan yang lebih elegan dan professional. Ketua umum bukanlah mereka yang semata-mata memiliki kekuatan politik namun juga memiliki keikhlasan, komitmen beramal sholeh, profesionalisme dan totalitas perjuangan. Karena tidak menutup kemungkinan kritik atas muhammadiyah secara umum di atas juga terjadi pada kita warga muhammadiyah cabang kebayoran lama sebagai bagian dari muhmmadiyah secara nasional. Justru itu, di forum musyawarah cabang inilah momentum kita untuk menunjukan sebagai gerakan islam yang memang menjadi sandaran ummat itu dibuktikan. Tidak boleh dicampur mana yang hak dan mana yang bathil (Al-Baqarah: 42)
Pergeseran yang terjadi secara massal (baca: di hampir semua aspek) ini jelas dapat mematikan ruh perjuangan muhammadiyah secara sistematik. Maka yang perlu kita pertegas:
pertama, Muhammadiyah bukanlah kendaraan bagi kepentingan kelompok, Muhammadiyah adalah kendaraan bagi kepentingan ummat islam Indonesia. Maka berbagai upaya untuk menarik muhammadiyah menjadi alat kepentingan kelompok harus kita perangi. Siapapun itu yang ternyata jelas-jelas menggerogoti muhammadiyah sebagai rumah bersama, harus kita antisipasi atau rumah ini akan roboh. Di sini kita dituntut untuk jeli agar memilah dengan benar antara mereka yang memiliki nilai dan visi kemuhammadiyahan serta mereka yang jelas-jelas hanya numpang hidup di muhammadiyah.
Kedua, maka aspirasi dari seluruh elemen di muhammadiyah, termasuk di antaranya adalah ortom dan jemaah, harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Tanpa mementingkan aspirasi dan kader di tingkatan grassroot maka kita tidak akan memiliki masa depan yang cerah. Mengingat merekalah yang akan menjadi pelangsung dan penyempurna amanah persyarikatan. Mereka lupa, kepemimpinan yang sehat adalah kepemimpinan yang memperhatikan betul regenerasi. Seperti kata presiden John F. Kenedy, “para politisi datang hanya untuk pemilu berikutnya, sedangkan negarawan datang untuk generasi berikutnya”.
Ketiga, barangkali yang paling penting, bahwa setiap langkah muhammadiyah haruslah memiliki sumbangsih positif terhadap keindonesiaan. Meski dalam hal ini adalah lingkup kecamatan kebayoran lama. Sifat nasionalisme (nilai kemerdekaan, keadilan, kejujuran dan transparansi) seharusnya ditumbuhkan sejak dini kepada kader – kader Muhammadiyah. Sayangnya fakta di lapangan tidak sinergis dengan semangat ini. Sungguh miris dengan semua fasilitas yang menunjang upaya ini tetapi tidak difungsikan secara maksimal. Lihat saja, bagaimana mungkin kita bangsa Indonesia khususnya di lingkup Muhammadiyah kebayoran lama, tidak tersentuh pada jiwa nasionalisme kebangsaan. Pasalnya, seberapa sering kita lihat adanya upacara bendera khususnya di lingkungan perguruan Muhammadiyah Cipulir Kebayoran lama, yang nota bene kadernya terdiri dari TK, SMP, SMA, SMK yang jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit. Upacara bendera bukanlah sekedar ritual yang tanpa makna, tetapi dari sinilah sesungguhnya nilai perjuangan islam dan kebangsaan seperti yang dicontohkan K.H. Ahmad Dahlan bisa diwujudkan.
Sekali Lagi Tauhid!
Selama perjalanan panjang satu abad berdirinya, Muhammadiyah telah mengalami berbagai tantangan zaman. Mulai dari zaman penjajahaan, zaman revolusi, demokrasi parlementer, hingga reformasi. Selama itu pula Muhammadiyah mengalami pasang surut pergerakan. Namun tetap saja bahtera Muhammadiyah mampu bergerak dengan mantap (Amien Rais: 1995 , Tauhid Sosial,hal 278), sebuah kutipan tersebut semoga dapat menjadi inspirasi kita dalam memahami makna pembahruan.
Karena nilai tauhid, seperti yang sering dipaparkan oleh Amien Rais, yang bersandar pada keikhlasan dan amal sholeh bukanlah sekedar retorika, tetapi membutuhkan aksi nyata (al-Ma’un: 1-7). Atau yang sering diistilahkan dengan Tauhid Sosial. Inilah warisan terpenting K.H. Ahmad Dahlan bagi Muhammadiyah dan bangsa Indonesia. Sehingga apa yang ditakutkan oleh sindhunata dengan istilah negeri para celeng tidak akan terjadi. Sebagai dampak dari pembaharuan muhammadiyah yang berdimensi keummatan dan kebangsaan.
Terkahir, penulis ucapkan selamat melangsungkan musyawarah cabang muhammadiyah kebayoran lama. Semoga menjadi batu tapal gerakan tajdid yang mampu mencerahkan ummat dan bangsa.
Wallahu a’lam bi al-showab
Nuun wal qolami wa maa yasthuruun
Nasruun minallah wa fathun qorib