MEMBINCANG FAKULTAS PSIKOLOGI UIN JAKARTA
2013-02-25
Oleh: Nasreen ega
Tak terasa kiprah Psikologi sebagai kampus umum pertama di UIN Jakarta sudah berusia sepuluh tahun. Berawal dari program studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, hingga pada akhirnya Fakultas Psikologi menjadi pengawal kampus umum pertama beriringan dengan perubahan nama dari IAIN menjadi UIN Jakarta. Kini,Fakultas Psikologi telah mampu mensejajarkan dirinya sebagai salah satu Fakultas favorit di UIN dan menjadi salah satu Fakultas pembaharu karakter bangsa. Berkaca dari sisi historis yang seakan mewarnai dinamika perjalanan eksistensi kampus ungu ini, banyak hal yang telah terjadi. Perbaikan demi perbaikan seakan menjadi sebuah gerakan untuk meningkatkan kualitas. Terbukti dari banyak terciptanya SDM yang unggul dan telah banyak berkiprah di masyarakat.
Fakultas psikologi yang berintegrasi dengan visi dan misi universitas yaitu knowledge, piety, integrity seakan menjadi cikal bakal peningkatan keunggulannya. Tanpa melupakan ranah keilmuan, tentunya keshalehan serta integritas menjadi sasaran utama bagi kapasitas mahasiswa sebagai salah satu elemen civitas akademika.
Memutar kilas historis. seperti yang sering diungkapkan oleh bapak proklamator Ir. Soekarno, bahwa: “Jangan pernah sekali-kali kita melupakan sejarah!”. Ungkapan Soekarno ini seakan-akan ingin menegaskan bahwa sejarah adalah pengawal terjadinya kekinian. Sejarah mencatat telah bergulir dua periode pergantian Dekan Fakultas psikologi. Dimulai dari periode kepemimpinan Dra. Netty Hartati, M.Si (2002-2008) dan kini masa kepemimpinan Jahja Umar, Ph.D. (2009-2013) yang masing-masing di bawah kepemimpinannya memiliki ciri khas dan karakter tersendiri yang sama-sama memiliki tujuan bagi peningkatan dan perbaikan mutu pendidikan di Fakultas ungul tersebut.
Namun seakan-akan cita-cita ini belum berbanding lurus dengan realita yang terjadi pada konteks kekinian. Hal ini disebabkan banyak dari mahasiswa psikologi yang lebih mengutamakan pengetahuan disiplin ke-ilmuannya saja daripada membuka diri untuk mengintegrasikan dengan isu-isu kontemporer, seperti konteks ke-indonesiaan dan kebangsaan. Mahasiswa seakan menutup diri untuk tidak menyentuh ranah yang lebih luas, bahkan cenderung menafikan ranah tersebut.
Problematika ini jika tidak ditanggulangi dengan tepat tentunya akan melahirkan intelektual-intelektual psikologi yang hanya terjebak dalam kerangka disiplin keilmuannya saja. Oleh karena itu diperlukan peran para pendidik yang berkiprah dibidang ini untuk menjembatani problem yang terjadi dewasa ini. Misalkan dengan mengadakan diskusi tentang kenegaraan, dimana hal ini dapat diintegrasikan dengan ilmu psikologi. Karena setiap keputusan kenegaraan tidak mungkin dapat dilepaskan dari unsur-unsur kejiwaan.
Relevensi hal ini tentunya agar kapasitas keilmuan mahasiswa dapat disinergikan dengan muatan kebangsaan dan kenegaraan. Jika hal ini dapat berjalan dengan baik, tentunya visi dan misi UIN sebagai kampus pembaharu akan terealisasikan. Karenanya, meningkatkan kualitas pengetahuan di luar pengetahuan psikologi menjadi hal yang niscaya. Tidak mungkin para mahasiswa psikologi dapat berbicara banyak dalam menghidupkan bangsa dan Negara, tanpa dibekali pengetahuan yang luas.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bersama dalam meningkatkan kualitas keilmuan. Meskipun hal yang sudah berjalan selama ini tidak sepenuhnya salah. Kebijakan yang ada dalam Fakultas psikologi sudah sangat membantu dalam meningkatkan mutu SDM secara komprehensif.
Di samping itu, diperlukan pula peningkatan keshalehan baik secara individu maupun secara social. Sebagai penunjang integritas dan ke-ilmuan sesuai dengan nilai yang terkandung dalam cita-cita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengetahuan dan integritas tanpa keshalehan akan melahirkan kecongkakan,dan kecongkakan bermuara pada kehancuran. (QS. [28]: 81-83). Menjadi jelas, bahwa pengetahuan,integritas dan keshalehan bukanlah merupakan sesuatu yang terpisah-pisahkan,tetapi harus berjalan beriringan.
Di usia yang terbilang cukup lama ini (10 tahun), Fakultas psikologi harus mampu menciptakan SDM-SDM prima, yaitu SDM-SDM yang mampu membuka diri terhadap dialektika pengetahuan dan shaleh secara individual untuk diaktualisasikan dalam ranah sosial. Sudah saatnya bagi kita untuk sensitif dalam melihat laju perkembangan pengetahuan terlebih lagi di tengah derasnya arus informatika. Laju pengetahuan akan statis jika kita hanya terbuai oleh lantunan-lantunan pengetahuan internal.
*Mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarih Hidayatullah Jakarta