SENTUHLAH PEREMPUAN


SENTUHLAH PEREMPUAN

Menurut penulis, gender tak lagi menjadi isu yang sensitif di sebagian kalangan. Ketika berbicara hal tersebut kebanyakan  orang yang mengasosiasikan istilah gender dengan pembedaan antara  fungsi dan peran laki-laki serta perempuan dalam kehidupan. Konsep nature dan nurture akan selalu menjadi pembahasan yang terintegrasi di dalamnya. Dimana nature merupakan konsep “ke-alamiah-an” kodrat awal yang tercipta sebagai pembeda mutlak antara lelaki dan perempuan, sedangkan konsep nurture adalah konstruksi yang terbentuk dalam lingkungan sekitar yang dibuat sebagai pembeda antara lelaki dan perempuan. Gender merupakan replika mini dari sebuah perbedaan, hal yang tak terbantahkan dan melekat sebagai kodrat. Itulah goresan indah yang mampu melengkapi tanah peradaban dunia ini. Ketika semua mengasumsikan peran, fungsi dan kedudukan yang setara berbasis keadilan gender semua seakan terbuai dengan ruang dan publik bagi perempuan. Dengan menjunjung kesejahteraan perempuan di ranah publik, maka terciptalah wacana beserta aplikasi terkait asumsi tersebut.

Saat ini perempuan masa kini telah banyak yang berkecimpung di dalam ruang publik, mereka mendapat kebebasan untuk mengaktualisasikan diri dan berpekspresi. Tak sedikit pula perempuan-perempuan yang telah menduduki jabatan dan kedudukan yang strategis di negeri ini. Tentu saja kita harus memberikan apresiasi terhadap perkembangan peradaban yang dialami oleh perempuan Namun dibalik  apresiasi yang besar itu ternyata masih banyak tantangan yang dilantangkan bagi keadilan berbasis gender khususnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Kita dapat melihat persoalan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan Papua di wilayah konflik sebagai contoh konkritnya

DISKRIMINASI DAN PEMBUSUKAN SEJARAH

Dalam pendokumentasian dan laporan terkait kesaksian perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM 1963-2009 yang dibuat oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) bekerja sama dengan Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center For Transititional Justice (ICTJ) Indonesia, HIVOS dan Swiss Embassy mencatat bahwa perempuan Papua hidup dalam kebisuan yang panjang.  Kebisuan yang panjang dari perempuan-perempuan Papua itu berkaitan erat dengan pengalaman pelanggaran HAM selama kurang lebih 40 tahun.

Pada masa itu perempuan-perempuan Papua mengalami diskriminasi dan kekerasan ganda. Dalam hal ini perempuan-perempuan Papua mengalami diskriminasi dan kekerasan domestik serta diskriminasi dan kekerasan Negara. Diskriminasi dan kekerasan domestik adalah diskriminasi dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istri. Bentuk diskriminasi dan kekerasannya dapat berupa fisik maupun  psikologis, diskriminasi pun terjadi ketika  hanya perempuan kulit hitam yang cenderung menjadi korban penindasan, hal ini mengingatkan penulis dengan isu womenism sebagai pendiskriminasian antara perempuan kulit putih dan kulit hitam yang dialami oleh perempuan Afrika, sederhananya seorang perempuan Afrika berkata kepada perempuan-perempuan kulit putih: “kalian itu tak usah cerewet dan sedikit-sedikit mengeluh, karena kalian enak hanya ditindas oleh laki-laki kulit putih (suami). Tetapi kami sudah ditindas oleh laki-laki kulit putih sebagai tuan tanah kami, ditambah lagi oleh kalian (perempuan kulit putih), ditambah lagi oleh laki-laki kami kulit hitam (suami dan anak laki-laki dewasa).” Diskriminasi yang sungguh memilukan dan terjadi pula di tanah Papua. Sementara itu Tak jarang pula kita mendengar kasus pemerkosaan dan penyiksaan terhadap perempuan Papua yang dianggap sebagai pendukung OPM (Organisasi Papua Merdeka) oleh tentara laki-laki yang bertugas di wilayah konflik tersebut. Mirisnya, diskriminasi dan kekerasan tersebut tidak ditangani dengan tuntas oleh aparat keamanan Negara.

DIAM BERARTI MATI ATAU BANGKIT DAN BERDIRI
 
Mengutip peryataan Cartwight dalam teori psikologi sosial, bahwa orang yang memiliki kekuasaan adalah orang yang mampu mendorong tingkah laku orang lain kearah yang dikehendaki. (Sarlito wirawan sarwono, 2008) Teori Cartwight tersebut dapat dipakai untuk menunjukkan analisa terhadap beberapa kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, yang dikonstruksikan mayarakat sebagai kaum inferioritas, sehingga akan mudah ditindas dan diperlakukan sesuai keinginan orang yang memiliki kuasa tersebut. Padahal konstitusi Indonesia menjamin bahwa “setiap warga Negara mempunyai hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (PS. 28 G (1) PS 28 B 2) dengan isu yang jarang tersentuh ini, kalaupun ada tetapi ruang publikasinya dibatasi, kita perlu menindak lanjuti isu gender ini. sebagai bentuk apresiasi kita mengangkat esensi sila kelima dalam pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sehingga tak ada lagi pendiskriminasian konteks lelaki mau pun perempuan di dalamnya. Jadi, kita jangan hanya sibuk menyoroti  ruang publik bagi aktualisasi semata. Tetapi kita juga perlu menyoroti dan menindak lanjuti banyak kasus yang menyangkut ketidakadilan gender.


*Penulis adalah Aktifis HMI Cabang Ciputat dan Kohati HMI Cabang Ciputat (Nasreen-Ega)





Tulisan ini pernah dimuat di www.rimanews.com

http://rimanews.com/read/20110421/24674/yang-jarang-tersentuh-dari-perempuan-sebuah-refleksi-di-hari-kartini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel