DIMENSI YANG TERTINGGAL #1
2013-03-03
(Sebuah Refleksi Perjuangan Hidup)
*Nasreen Ega
Allahummaghfirlii wali-walidayya
Warhamhumma kamaa, Robbayani Soghiroo….
Do’a yang tak pernah absen di sela keheningan persembahan diri kepada sang penyayang makhluk selalu mampu membuat hatiku berdenyut merasakan setiap alur perjalanan hidup. Di akhir angka penggenap bulan februari kemarin dan detik demi detik yang mengantarkannya di garis eliminasi, aku merenung…
Kudapati ibuku masih bergulat dengan pekerjaannya, merangkai manik-manik kain untuk kemudian disetorkannya kepada si empunya pabrik manik-manik pakaian di sebuah perkampungan tak jauh dari kediaman kami. Pekerjaan yang digeluti ibuku ini tidaklah sulit, tetapi tidak dapat dikatakan mudah juga. Butuh ketelitian, kesabaran dan ketahanan kerja yang maksimal, kalau tidak tentu saja akan cepat merasa bosan, lelah dan tidak fokus.
Sekitar pukul 22.00 WIB aku beserta kedua adikku membantu ibuku mengepakan manik-manik tersebut ke dalam wadah plastik untuk kemudian diberi steples pada pangkal dan ujung plastik yang sudah penuh dengan jumlah kuota manik-manik yang telah ditentukan. Dalam satu plastik terdapat seratus butir manik-manik dan pada malam itu kami berhasil mengumpulkan manik-manik sebanyak 6.000 butir. Upah dari hasil pembuatan manik-manik tersebut tidaklah besar. Kami biasa dibayar Rp 15.000,- per 1000 manik-manik yang dihasilkan. Berarti Rp 15,- perbutir. Dan dari sanalah ibu membantu perekonomian keluarga yang sedang carut marut tak tentu arah.
Aku memperhatikan ibuku yang kala itu masih merangkai manik-manik untuk kemudian direkatkan dengan bantuan sumbu api kecil yang menyala di atas mejanya. Kulekatkan penglihatanku tajam-tajam pada perempuan yang telah mengajariku banyak hal tentang arti kehidupan. Malam yang melarut diiringi desah angin yang kian menusuk kulit semakin membuatku merinding, sekilas seakan ada putar balik memori, seperti menyaksikan pemutaran film klasik tempo dulu.
Saat ku saksikan putaran film yang sedang diputar di dalam neuron dan syaraf otakku, kulihat aku delapan belas tahun yang lalu tengah tertidur dibuaian ibu sambil memainkan rambut ibu (begitulah caraku tidur sewaktu kecil, menggantikan aku yang kala itu senang menghisap jari). Kusaksikan ibu membelai-belai punggungku dan menceritakan sebuah dongeng.
Senyum kecil tersungging di bibirku kala aku menyaksikan potongan film yang tak lain adalah memorial dalam kehidupanku sendiri. Pikiranku kian melambung. Sungguh bahagianya kala itu, kala beban dan penat tak ada sedikitpun di dalam pikiran. Masih berada di dalam peluk dan buaian hangat ibu, ciuman dan belaian-belaiannya pun tak pernah tertinggal setiap harinya.
Aneh. Memang aku yang aneh, maka seluruh manusia di dunia ini juga aneh. Silogisme tersebut kutarik dengan kesimpulanku kala itu. Mengapa setiap manusia yang berada dalam dimensi masa lalu sangat menginginkan masa depan? Dan ketika masa depan telah berhasil didapatkan dalam konteks ke-kinian terlebih jika masa depan itu tak sesuai dengan apa yang pernah dibayangkannya, justru manusia menginginkan kembali ke masa lalu untuk merasakan kebahagiaan di masa lalunya? Bahkan terkadang ada pula diantara mereka yang ingin kembali ke masa lalunya untuk mengambil kebahagiaan yang tertinggal dan menghubungkannya untuk mencapai masa depan. Sungguh Aneh.
Putaran film tempo dulu pun kembali menggerayangi kepalaku, kudengar percakapan aku dan ibu “aku ingin menjadi orang dewasa ibu, agar ibu tidak begitu kesulitan menjagaku, aku tidak suka diperhatikan secara berlebihan, aku malu dengan teman-temanku bu” nadaku terdengar sedikit tinggi karena kesal kala itu, itu percakapanku menjelang masa-masa puberku, kisaran usiaku dipenghujung 14-15 tahun.
Kala itu ku temukan masa remaja yang penuh dengan gejolak, ambisi dan juga campur baur perasaan-perasaan yang asing dan untuk kali pertama aku jumpai. Keinginan-keinginan untuk mencoba suatu hal yang baru terus menerus aku rasakan, masa-masa dimana aku mulai gemar melukai hati kedua orang tuaku yang cenderung melarang keinginan-keinginanku.
Pola asuh yang diterapkan oleh ibuku cenderung berbanding terbalik dengan ayahku. Dan pada masa-masa itu pula, kali pertamanya aku mulai memusuhi dan membenci ayahku. Pola asuhnya berbanding lurus dengan karakternya. Keras dan sangat diktator. Ia merasa bahwa hal tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisir keadaan-keadaan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pikirku saat itu, dengan karakter yang seperti itu hanya akan membentuk kepribadianku menjadi sepuluh kali lipat menjadi lebih seperti ia.
Kala itu di hari libur jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB, aku yang pulang dari berpergian dengan teman-temanku segera disambut dengan guyuran air dari ember yang dibawa ayahku keluar rumah, bajuku basah kuyup dan tentu saja bajuku melekat dengan tubuhku yang menggigil kedinginan. Ayah membiarkan aku tetap di luar untuk menghukumku. Aku pasrah dan meratapi semua yang disebutkan ayah sebagai suatu pembangkangan, aku menunggu di luar pintu hingga ibu membukakan pintu untukku.
Putaran film tadi membuat tubuhku merinding kala itu, pikiranku menerawang kembali. Aku kembali menyunggingkan senyum kecil dibibirku kala mengingatnya. Mungkinkah jika nanti aku-pun memiliki seorang anak, aku akan mewarisi karakter keras milik ayah untuk mendidik anakku? Seperti tipologi kepribadian yang dikemukakan oleh seorang ahli psikologi dari Jerman, dengan teori tipologinya yang terkenal yaitu “Tipologi Kretschmer”. Krestchmer mengatakann dalam salah satu tipologinya bahwa watak atau karakter adalah keseluruhan dari kemungkinan-kemungkinan seorang individu dapat bereaksi secara emosional yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam dirinya seperti dasar keturunan.
Wow!!! sejenak salah satu tipologi tersebut membuat aku menjadi pesimis, bagaimana anakku kelak. Bukan karena aku takut bagaimana nantinya pola asuhku terhadapnya. Tetapi yang lebih aku khawatirkan adalah bagaimana ia kelak jika mewarisi karakter aku, atau kakekknya, terlebih jika nanti pasanganku-pun memiliki kepribadian yang sama. Akan lebih dua puluh kali lipatnya anakku kelak mewarisi perpaduan karakter tersebut.
Konyol. Memang konyol. Klasik sekali pikiranku saat ini, seperti tidak ada anti-tesis atas apa yang kupikirkan. Setidaknya aku memiliki anti-tesis untuk gambaranku tersebut. Aku juga masih percaya sampai saat ini bahwa paham behaviorisme yang dibawa oleh B.F Skinner dan J.B Watson masih dapat menjadi anti-tesis, walaupun pendekatannya terkesan me-robotisasi-kan seseorang dalam rumusannya tentang bagaimana belajar itu memberikan stimulus kemudian melihat respon dan hal tersebut dibiasakan dalam pembiasaan-pembiasaan secara berkala. Setidaknya aku dapat melakukan hal tersebut kepada anakku kelak. Dan aku-pun yakin seseorang juga akan belajar dari lingkungannya. Bagaimana ia menyerap, merespon dan mengaplikasikan apa yang ia terima di dalam lingkungannya menjadi internalisasi di dalam dirinya.
Ya… Aku percaya, karena hal tersebut telah terbukti melalui Ayahku.
Ibuku yang seorang perempuan sederhana, yang tak pernah menyentuh teori-teori dan pendekatan psikologi mampu menjadi ahli psikologi terbaik bagi ayahku. Pendekatan yang ia gunakan sangat mirip dengan teori dan pendekatan-pendekatan yang menjadi makananku sehari-hari selama belajar ilmu tersebut. Atau mungkin bahasa lain yang dapat menggambarkan hal tersebut ialah, ibuku mampu menterjemahkan apa yang kini sedang kugeluti tanpa bersentuhan langsung dengan buku dan teori. Ya, ibuku langsung mempelajarinya melalui empirisme hidup.
Bersambung….
(Pamulang, 2 Maret 2013)
*Nasreen Ega
Allahummaghfirlii wali-walidayya
Warhamhumma kamaa, Robbayani Soghiroo….
Do’a yang tak pernah absen di sela keheningan persembahan diri kepada sang penyayang makhluk selalu mampu membuat hatiku berdenyut merasakan setiap alur perjalanan hidup. Di akhir angka penggenap bulan februari kemarin dan detik demi detik yang mengantarkannya di garis eliminasi, aku merenung…
Kudapati ibuku masih bergulat dengan pekerjaannya, merangkai manik-manik kain untuk kemudian disetorkannya kepada si empunya pabrik manik-manik pakaian di sebuah perkampungan tak jauh dari kediaman kami. Pekerjaan yang digeluti ibuku ini tidaklah sulit, tetapi tidak dapat dikatakan mudah juga. Butuh ketelitian, kesabaran dan ketahanan kerja yang maksimal, kalau tidak tentu saja akan cepat merasa bosan, lelah dan tidak fokus.
Sekitar pukul 22.00 WIB aku beserta kedua adikku membantu ibuku mengepakan manik-manik tersebut ke dalam wadah plastik untuk kemudian diberi steples pada pangkal dan ujung plastik yang sudah penuh dengan jumlah kuota manik-manik yang telah ditentukan. Dalam satu plastik terdapat seratus butir manik-manik dan pada malam itu kami berhasil mengumpulkan manik-manik sebanyak 6.000 butir. Upah dari hasil pembuatan manik-manik tersebut tidaklah besar. Kami biasa dibayar Rp 15.000,- per 1000 manik-manik yang dihasilkan. Berarti Rp 15,- perbutir. Dan dari sanalah ibu membantu perekonomian keluarga yang sedang carut marut tak tentu arah.
Aku memperhatikan ibuku yang kala itu masih merangkai manik-manik untuk kemudian direkatkan dengan bantuan sumbu api kecil yang menyala di atas mejanya. Kulekatkan penglihatanku tajam-tajam pada perempuan yang telah mengajariku banyak hal tentang arti kehidupan. Malam yang melarut diiringi desah angin yang kian menusuk kulit semakin membuatku merinding, sekilas seakan ada putar balik memori, seperti menyaksikan pemutaran film klasik tempo dulu.
Saat ku saksikan putaran film yang sedang diputar di dalam neuron dan syaraf otakku, kulihat aku delapan belas tahun yang lalu tengah tertidur dibuaian ibu sambil memainkan rambut ibu (begitulah caraku tidur sewaktu kecil, menggantikan aku yang kala itu senang menghisap jari). Kusaksikan ibu membelai-belai punggungku dan menceritakan sebuah dongeng.
Senyum kecil tersungging di bibirku kala aku menyaksikan potongan film yang tak lain adalah memorial dalam kehidupanku sendiri. Pikiranku kian melambung. Sungguh bahagianya kala itu, kala beban dan penat tak ada sedikitpun di dalam pikiran. Masih berada di dalam peluk dan buaian hangat ibu, ciuman dan belaian-belaiannya pun tak pernah tertinggal setiap harinya.
Aneh. Memang aku yang aneh, maka seluruh manusia di dunia ini juga aneh. Silogisme tersebut kutarik dengan kesimpulanku kala itu. Mengapa setiap manusia yang berada dalam dimensi masa lalu sangat menginginkan masa depan? Dan ketika masa depan telah berhasil didapatkan dalam konteks ke-kinian terlebih jika masa depan itu tak sesuai dengan apa yang pernah dibayangkannya, justru manusia menginginkan kembali ke masa lalu untuk merasakan kebahagiaan di masa lalunya? Bahkan terkadang ada pula diantara mereka yang ingin kembali ke masa lalunya untuk mengambil kebahagiaan yang tertinggal dan menghubungkannya untuk mencapai masa depan. Sungguh Aneh.
Putaran film tempo dulu pun kembali menggerayangi kepalaku, kudengar percakapan aku dan ibu “aku ingin menjadi orang dewasa ibu, agar ibu tidak begitu kesulitan menjagaku, aku tidak suka diperhatikan secara berlebihan, aku malu dengan teman-temanku bu” nadaku terdengar sedikit tinggi karena kesal kala itu, itu percakapanku menjelang masa-masa puberku, kisaran usiaku dipenghujung 14-15 tahun.
Kala itu ku temukan masa remaja yang penuh dengan gejolak, ambisi dan juga campur baur perasaan-perasaan yang asing dan untuk kali pertama aku jumpai. Keinginan-keinginan untuk mencoba suatu hal yang baru terus menerus aku rasakan, masa-masa dimana aku mulai gemar melukai hati kedua orang tuaku yang cenderung melarang keinginan-keinginanku.
Pola asuh yang diterapkan oleh ibuku cenderung berbanding terbalik dengan ayahku. Dan pada masa-masa itu pula, kali pertamanya aku mulai memusuhi dan membenci ayahku. Pola asuhnya berbanding lurus dengan karakternya. Keras dan sangat diktator. Ia merasa bahwa hal tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisir keadaan-keadaan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pikirku saat itu, dengan karakter yang seperti itu hanya akan membentuk kepribadianku menjadi sepuluh kali lipat menjadi lebih seperti ia.
Kala itu di hari libur jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB, aku yang pulang dari berpergian dengan teman-temanku segera disambut dengan guyuran air dari ember yang dibawa ayahku keluar rumah, bajuku basah kuyup dan tentu saja bajuku melekat dengan tubuhku yang menggigil kedinginan. Ayah membiarkan aku tetap di luar untuk menghukumku. Aku pasrah dan meratapi semua yang disebutkan ayah sebagai suatu pembangkangan, aku menunggu di luar pintu hingga ibu membukakan pintu untukku.
Putaran film tadi membuat tubuhku merinding kala itu, pikiranku menerawang kembali. Aku kembali menyunggingkan senyum kecil dibibirku kala mengingatnya. Mungkinkah jika nanti aku-pun memiliki seorang anak, aku akan mewarisi karakter keras milik ayah untuk mendidik anakku? Seperti tipologi kepribadian yang dikemukakan oleh seorang ahli psikologi dari Jerman, dengan teori tipologinya yang terkenal yaitu “Tipologi Kretschmer”. Krestchmer mengatakann dalam salah satu tipologinya bahwa watak atau karakter adalah keseluruhan dari kemungkinan-kemungkinan seorang individu dapat bereaksi secara emosional yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam dirinya seperti dasar keturunan.
Wow!!! sejenak salah satu tipologi tersebut membuat aku menjadi pesimis, bagaimana anakku kelak. Bukan karena aku takut bagaimana nantinya pola asuhku terhadapnya. Tetapi yang lebih aku khawatirkan adalah bagaimana ia kelak jika mewarisi karakter aku, atau kakekknya, terlebih jika nanti pasanganku-pun memiliki kepribadian yang sama. Akan lebih dua puluh kali lipatnya anakku kelak mewarisi perpaduan karakter tersebut.
Konyol. Memang konyol. Klasik sekali pikiranku saat ini, seperti tidak ada anti-tesis atas apa yang kupikirkan. Setidaknya aku memiliki anti-tesis untuk gambaranku tersebut. Aku juga masih percaya sampai saat ini bahwa paham behaviorisme yang dibawa oleh B.F Skinner dan J.B Watson masih dapat menjadi anti-tesis, walaupun pendekatannya terkesan me-robotisasi-kan seseorang dalam rumusannya tentang bagaimana belajar itu memberikan stimulus kemudian melihat respon dan hal tersebut dibiasakan dalam pembiasaan-pembiasaan secara berkala. Setidaknya aku dapat melakukan hal tersebut kepada anakku kelak. Dan aku-pun yakin seseorang juga akan belajar dari lingkungannya. Bagaimana ia menyerap, merespon dan mengaplikasikan apa yang ia terima di dalam lingkungannya menjadi internalisasi di dalam dirinya.
Ya… Aku percaya, karena hal tersebut telah terbukti melalui Ayahku.
Ibuku yang seorang perempuan sederhana, yang tak pernah menyentuh teori-teori dan pendekatan psikologi mampu menjadi ahli psikologi terbaik bagi ayahku. Pendekatan yang ia gunakan sangat mirip dengan teori dan pendekatan-pendekatan yang menjadi makananku sehari-hari selama belajar ilmu tersebut. Atau mungkin bahasa lain yang dapat menggambarkan hal tersebut ialah, ibuku mampu menterjemahkan apa yang kini sedang kugeluti tanpa bersentuhan langsung dengan buku dan teori. Ya, ibuku langsung mempelajarinya melalui empirisme hidup.
Bersambung….
(Pamulang, 2 Maret 2013)