DIMENSI YANG TERTINGGAL #2


(Sebuah Refleksi Perjuangan Hidup - Momentum Kongres HMI Ke-28)
Oleh : Nasreen Ega

Insting Dasar Manusia Dimensi Awal

Empirisme hidup terus berkelanjutan dari satu tangga ke tangga berikutnya. Dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Dinamis, bertumbuh, maju dan bergerak.  Semua hal yang menggambarkan progresitas-progresitas dalam dunia, itulah hidup. Namun tak selamanya kata demi kata yang menjelaskan kehidupan seperti maju, bergerak, progress, dinamis dan hal-hal positif lainnya dapat mewakili akan definisi dan uraian tentang hidup. Hidup itu juga meliputi regres, mundur, kisruh dan gemuruh. Tak dapat dipisahkan dari hal-hal tersebut. Karena hidup adalah dinamika. Namun apapun hal yang menggambarkan tentang hidup, hidup tetaplah hidup. Selalu meninggalkan dimensi lalu, menghampiri dimensi ke-kini-an, dan berorientasi untuk menetap ke dimensi mendatang.

Dahulu ketika manusia memulai hidup dan peradaban awal di muka bumi ini, manusia selalu mencari cara bagaimana upaya-upaya mempertahankan hidup. Bertarung, agresi dan memangsa. Hal-hal tersebut merupakan upaya pertahanan hidup manusia guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar yaitu “Perut”. Dari jaman purbakala kebutuhan dasar manusia tak pernah berubah. Kebutuhan dasar memenuhi kebutuhan perut sehingga Insting alamiah manusia ketika lapar yaitu makan tak ada yang dapat menggantikan kebutuhan tersebut. Maka  memangsa bahkan melakukan agresi guna melengkapi Basic needs tersebut pun dilakukan.

Seperti  yang telah berulang kali dikemukakan oleh Bapak psikoloanalisa asal Jerman yaitu Sigmund Freud, bahwasanya insting dasar manusia adalah insting biologi meliputi seks dan pemenuhan kebutuhan perut (terbebas dari rasa lapar) serta agresi. Insting tersebut telah dimiliki manusia ketika ia Lahir ke dunia dan insting dasar tersebut harus dipenuhi manusia agar tatanan kehidupan manusia itu sendiri dapat berjalan stabil. Tidak mungkin kehidupan manusia dapat stabil bila insting dasar tersebut tidak terpenuhi.

Serangkaian rekam jejak historis pertahanan hidup manusia dalam dimensi lalu hingga kini seharusnya dapat mengantarkan manusia menjadi sebuah bahan refleksi. Pergeseran demi pergeseran nilai dalam dinamika hidup berputar dengan sangat dinamis.  Jika dulu hingga saat ini kebutuhan dasar manusia tak pernah berubah, maka kebutuhan itu pada saat ini menjadi kebutuhan yang sangat krusial bagi manusia. Bermacam upaya dilakukan untuk mengentaskan pemenuhannya.

Insting Dasar Manusia Dimensi “Ke-Kini-an”

Disela pergulatan panjang akan analisis dan pemikiran-pemikiran tentang apa dan mengapa manusia melakukan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dan penyaluran-penyaluran insting dasarnya, terdapat dinamika lain dalam pertarungan pemenuhan kebutuhan tersebut pada forum besar yang menjadi agenda rutin dan istimewa sebuah organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia. Kongres HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ke-28 kali ini membuat remuk redam hati para kader HMI Senusantara. Kongres yang seyogianya diadakan guna mencari kader HMI terbaik untuk dijadikan puncak pimpinan yang berkarakter dengan idealisme yang tinggi nampaknya makin bergeser arah. Bukan sebuah wacana dan otokritik yang baru lagi bagi tubuh internal HMI, namun sepertinya ke-dinamis-an jaman semakin mempertegas pernyataan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah pemangsa bagi manusia lainnya.

Arah perjuangan HMI yang kian mem-blur membuat semakin carut marut tersebut dilegalkan menjadi sebuah kebiasaan dalam setiap momentum kontestasi. Gelontoran money politic  semakin menggila dan mematahkan arah perjuangan HMI. Bukan lagi pertarungan ide, nilai dan gagasan yang menjadi ikon idealisme sebuah organisasi melainkan berapa banyak gelontoran dana yang mampu ditransaksikan. Ide dan gagasan yang transformatif dan ideal-pun tenggelam, dihanyutkan oleh cara-cara tak baik tersebut. Masa depan HMI-pun dipertaruhkan.

Dari sini muncul disorientasi nilai perjuangan. Nilai-nilai dasar perjuangan yang menjadi khittah dan dasar perjuangan HMI seakan tak mampu menjadi benteng kuat bagi kewibawaan HMI. Bukan rahasia lagi jika permainan politik transaksional dengan modal yang tidak sedikit mampu membeli suara dalam kongres HMI ataupun musyawarah besar di dalam organisasi manapun. Nilai-nilai ideal telah bergeser dari porosnya. Manusia telah memangsa manusia lainnya, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Siapa yang memiliki banyak modal dialah pemenangnya. Hal itu dikarenakan manusia selalu mengedepankan insting dasarnya. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia menyeret manusia menjadi predator yang tamak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa memikirkan betapa masih banyak perut-perut kelaparan diluaran sana yang juga membutuhkan pemenuhan kebutuhannya.

HMI-ku kini di Rahim Per-andai-an

Andai. Seandainya dan andaikan merupakan kata penguat antara ingin dan angan yang bersatu padu. Kata seandainya belum terjadi, namun dapat menghasilkan kausalitas jika per-andai-an tersebut dapat melebur menjadi sebuah realitas. Seandainya kucuran uang transaksi tersebut dialih-fungsi-kan menjadi dana bantuan-bantuan yang bersifat membangun, menata dan mengabdikan diri kepada sesama manusia yang sangat membutuhkannya tentu saja nilai-nilai idealisme dapat ditorehkan tanpa merusak kesucian nilai organisasi.

Disorientasi kader sudah seharusnya diluruskan menjadi arah dan orientasi pada khittah yang semestinya, sebelum tumbuh dan berkembangnya kekecewaan serta krisis nilai pada embrio-embrio yang dipanggang di dalam panasnya kawah candradimuka.

Sebagai seorang kader HMI, tentunya saya merasa bahwa otokritik yang telah membumi ini tidak  boleh hanya disikapi secara sederhana. Kejumudan telah melingkupi setiap sendi dalam tubuh selama berkader di HMI. Ratusan juta kader yang tertarik masuk ke dalam organisasi ini pertama kali karena jatuh cinta terhadap nilai dan kejayaan yang dimiliki oleh HMI. Nilai dasar perjuangan-pun menjadi daya tarik yang tak pernah memudar di dalamnya. Namun kini semua telah bergeser. Nilai, ide dan gagasan menjadi suatu hal yang tak penting. Apakah kader HMI tak cukup cerdas untuk bertarung nilai dan gagasan dibandingkan dengan mengutamakan pragmatisme yang makin menyebar dan meradaang bagai virus?

HMI bukan tempat melatih insting dasar manusia menjadi insting dasar yang telah bermutasi menjadi insting dasar monster. Gen yang dimiliki oleh kader HMI adalah gen para pejuang yang memiliki visi dan nilai. Pragmatisme hanya akan semakin membawa HMI ke dalam arus setan yang berputar dan menyeret ke dalamnya. Idealisme hanya sebagian cerita tak berujung pada doktrin awal saja. Semakin jauh dimensi tersebut tertinggal di belakang. Dan kini tak pernah lagi ditemui apa itu idealisme secara konkrit, bosan dengan ceramah para senior tentang kamuflase idealisme. Namun begitu, murtad dari lingkaran HMI bukanlah pilihan. Ini hanyalah masalah kegagalan  satu generasi. Kegagalan HMI adalah kegagalan satu generasi, dan kejayaan HMI adalah kejayaan satu generasi.  semoga kegagalan satu generasi hari ini dapat ditebus dengan kejayaan di generasi berikutnya. Generasi  yang berjuang karena semangat, visi dan nilai yang dapat membangun cita-cita besar HMI. Lima kualitas insan cita. Amin



Ciputat, 27 Maret 2013

Pernah dimuat di Independensia.com


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel