JEMBATAN BATAS MANUSIA
2013-03-03
Nasreen Ega
Mahasiswi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Semester V D
Jembatan
identik sebagai media penghubung. Ibadah idealnya ialah sebagai media
penghubung manusia dengan Tuhan. Jejak historis ku dengan ibadah
terbilang positif. Namun, semua berubah seketika. Kini ibadah bagi ku
menjadi musuh negatif. Bahkan aku sempat mempertanyakan apakah Tuhan itu
ada?. Lontaran pertanyaan yang menyapa kepala beberapa waktu yang
lalu. Empirisme menjebak kedalam asa harap yang semu. Jatuh ke lubang
yang sama dengan alasan yang sama. Itulah pengalaman pahit komitmen kebersamaan yang membuat ku sesal.
Menjalin hubungan dengan
seseorang dan membuat kesepakatan dalam jenjang keseriusan. Biduk cinta
yang kami bangun pun indah. Memberi yang terbaik merupakan wujud nyata
ke-akuan ku padanya. Tak banyak harap ku dengan apa yang dia berikan.
Waktu pun terus berjalan dan hari yang tak kuinginkan pun tiba dialah
hari perpisahan itu. Meninggalkan jejak kebersamaan untuk pergi keluar
kota bagi pekerjaan dan kariernya dalam waktu yang cukup lama. Melepas
kepergiannya dengan kekhawatiran dan kecemasan pun kulakukan. Isak
tangis mengiringi keberangkatannya. Berhari-hari, berbulan-bulan
penantian kesetiaan dihati.
Sebuah penantian harapan panjang pun
menerpa ku. Rancang bangun pikiran masa depan pun ku bayangkan dan
persiapkan. Setibanya kembali pulang keinginan lebih menyatakan ikatan
keseriusan telah ku persiapkan. Aku berharap sesampainya dia di
Jakarta nanti kami bisa lebih memahami, jujur pada saat itu aku sangat
merindukannya. Hingga pada saat yang telah ditentukan akhirnya ia datang
juga. Kebahagiaan melanda rasa cinta ini dan tumpahan gejolak pun tak
kuasa kubendung
.
Limpahan tegur sapa hangat pun dilakukan. Aku
terus bercerita bagaimana keadaanku saat ia tidak ada. Sampai saat aku
melihatnya hanya diam saja lalu aku pun menyuruh dia bercerita. Dia diam
saja dan tak ada cerita, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dalam
tas dan memberikan selembar undangan, yang disitu tertera namanya dan
satu buah nama lagi tetapi nama itu asing . Nama seorang wanita yang
sama sekali tak dikenal. Aku sempat terdiam, kutanyakan apa maksudnya,
ia hanya terdiam. Tak kuasa aku menahan tangis dan aku pun mengeluarkan
air mata lemah ku dihadapannya. Tak tahu apa yang ia pikir dan rasakan
mengenai hubungan ini. Saat itu pun aku berpikir mungkin akulah orang
termalang di dunia
.
Adilkah Tuhan. Mengapa setiap orang yang
mendengar ceritaku pasti mengatakan bahwa Tuhan memilki rencana lain dan
hikmah dibalik itu semua. Sangat spekulasi. Bayangkan aku memberikan
segala yang terbaik untuk menjaga kualitas komitmenku sementara dia
menganggap ini sebagai suatu permainan atau entahlah apa yang dia
pikirkan. Dimana kuasa Tuhan. Aku selalu mempertanyakannya. Begitu
panjang aku memikirkannya, begitu banyak macam-macam “defense mechanism”
atau mekanisme pertahanan diri seperti proyeksi , represi dan
sebagainya yang digunakan jika ada orang yang menanyakan dia kepadaku.
Aku selalu menghibur diriku sendiri dengan mengalihkan rasa cintaku yang
sebenarnya. Dengan mengubahnya ke dalam bentuk benci yang teramat
sangat. Tetapi hal itu tidak membantuku. Aku semakin sakit. Aku tak
bisa menghindari kenyataan ini
.
Beberapa teman menganjurkan aku
untuk mendekatkan diri pada Tuhan, meminta jalan keluar dan belas kasih
Allah agar bisa menunjukkan jalan yang terbaik bagiku. Aku semakin
berpikir akan konsep itu. “agama adalah candu masyarakat” penderitaan
agama pada saat yang sama, merupakan ekspresi penderitaan nyata dan
protes terhadap penderitaan itu. Agama adalah keluh kesah makhluk yang
tertindas, hati dari dunia yang tak berperasaan dan jiwa dari
kondisi-kondisi yang mati. Agama sebagai agen moral yang aktif khususnya
bagi yang menderita dan lara
.
Sekilas pemahamanku bertajuk pada
konsep agama menurut Marx apakah aku beragama, aku shalat, menyerahkan
diriku pada Tuhan hanya karena aku menderita dan patah hati. Apakah aku
tidak menjadikan Tuhan sebagai pelarianku saja. Keimananku semakin
berguncang. Aku tak lagi menyentuh Al Quran yang biasa ku baca, perlahan
aku meninggalkan shalat lima waktu. Aku semakin runyam, disorientasi
dan aku sibuk memikirkan perasaan ku sendiri tanpa peduli dengan
orang-orang sekitar
.
Sekilas aku sempat juga memikirkan pemikiran
Sigmund Freud tentang obsesional compulsive-nya, ketika kita tidak
berbahagia disini (dunia). Nantinya akhirat atau kehidupan setelah dunia
yang akan memberikan itu maka orang-orang pun melakukannya (beribadah)
dan beragama di dunia ini. Apakah aku seperti itu ketika aku beribadah
nanti dikarenakan rasa sakitku terhadap lelaki tak berperasaan itu.
Dikarenakan aku melarikan diriku pada Tuhan. Aku tak mau
.
Aku
benar-benar krisis kesadaran, cinta telah membutakan hatiku. Cinta yang
seringkali dikatakan orang-orang sebagai sumber energi penggerak yang
indah. Sumber energi motivasi seseorang melakukan sesuatu. Tak lagi aku
merasakannya. Aku sangat frustrasi
.
Cermin Batas Manusia
Cermin
dapat menjadi kaca jiwa manusia. Dari cermin dapat melihat ruang tubuh
insani.Cermin juga mampu dijadikan kaca jiwa empiris manusia yang
berujung pada kesadaran hidup yang mencerahkan. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia batas berarti garis atau sisi yang menjadi perhinggaan suatu
bidang. Sementara terbatas berarti telah dibatasi oleh kekuasaan
tertentu. Manusia dengan keterbatasan sangatlah erat relevansinya. Tak
ada manusia yang sempurna karena setiap manusia pasti memiliki kelemahan
dan kekurangan. Disinilah titik sadar manusia dalam segala
keterbatasannya harus mengakui bahwa ada yang lebih dari dirinya
.
Tuhan
ialah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah manusia sebagai Yang
Mahakuasa. Definisi Tuhan tersebut telah menerjemahkan bahwa manusia
ditakdirkan untuk menyembah yang kuasa dari dia. Hanya Tuhanlah yang
berkuasa dan memiliki kuasa lebih dari manusia. Pengalaman titik buruk
hidup dengan terus mempertanyakan dan tidak mempercayai Tuhan sepertinya
keliru. Aku mulai sadar ketika setiap langkah hari hidup aku selalu
bergantung pada sesuatu. Aku butuh makan, minum, harta dan seterusnya
.
Kesadaran
yang muncul tanpa bisa aku penuhi dengan kesanggupan. Aku tak bisa
menghadirkan minum, aku lemah dalam menghadirkan dan menciptakan
makanan, dan aku tak kuasa menciptakan uang yang selama ini menjadi
“pemuas” kebutuhan hidup. Lalu berpikir keras bahwa sebenarnya ada
dibalik lain kuasa dan segala keterbatasan manusia. Disinilah kesadaran
ku perihal eksistensi Tuhan mulai muncul. Ada yang kuasa menciptakan
air, tanah, langit, minum, makanan bahkan cinta sekalipun. Sesuatu itu
ada dari ketiadaan. Dalam segala batas manusia inilah yang kurasakan
bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu kuasa dan kekal untuk disembah. Kalaupun
manusia beragama dan beribadah itu hanyalah sarana usaha atau ikhtiar
dalam mencintai Tuhannya. Sebuah penyadaran yang muncul dalam diri jika
bercermin dalam segala keterbatasan yang dirasakan. Filsuf pendidikan
kritis Paulo Freire menegaskan bahwa kesadaran yang timbul dalam diri
inilah yang dinamakan kesadaran kritis. Apakah fase kesadaran kritis ini
mulai menejelma dalam diri
.
Meminjam istilahnya David Hume perihal Problem of induction
bahwa tak ada sesuatu representasi logis dalam sebuah kesimpulan(Adip,
2010). Menerjemahkan tafsiran David Hume ini bicara kemungkinan yang tak
pasti. Analogi sepuluh buah jeruk jika diketahui dari jeruk satu sampai
kesembilan rasanya asam pada jeruk kesepuluh belum tentu rasanya asam
juga. Tak ada yang tahu dan bisa menebak suatu yang pasti. Inilah salah
satu letak sisi keterbatasan manusia. Berangkat dari analisis tersebut
bahwa manusia mempercayai Tuhan lalu beribadah merupakan dominasi usaha
untuk menentukan kemungkinan yang terjadi nanti. Lebih baik beribadah
daripada tidak beribadah ternyata surga dan neraka itu benar-benar ada.
Kalau pun surga dan neraka itu tidak ada minimal ada upaya ikhtiar yang
dilakukan manusia. Aku sadar bahwa kesadaran itu tak hadir dengan
sendirinya akan tetapi manusialah yang menciptakan. Inilah saat yang
tepat buat aku menciptakan kesadaran dari apa yang ku rasakan
.
Konklusi
Cinta
merupakan kodrat yang tak terhindarkan. Setiap manusia normal pasti
mengalami dan merasakannya. Namun, yang terpenting ialah bagaimana
manusia mampu dan bisa meramunya kedalam ramuan positif. Seperti yang
dikatakan Erich From Cinta itu suatu aspek ‘orientasi produktif” yakni
berhubungan aktif dan kreatif antara seseorang dengan orang lain disekitarnya
dengan diri sendiri juga dengan alam (Krich,274). Dimensi positif cinta
diterjemahkan kedalam tiga ruangan. Ranah pikiran, ranah tindakan, dan
ranah perasaan. Ranah pikiran yakni terjadi persentuhan dengan realitas
dunia berdasar penalaran. Ranah tindakan yakni orientasi produktif
ditunjukkan dengan pekerjaan produktif. Ranah perasaan yakni orientasi
produktif ditunjukkan dengan cinta yang menjaga integritas kemandirian.
Pada kerangka inilah cinta itu menimbulkan kesadaran baru untuk lebih
baik dalam menafsir dan mengaplikasikannya dalam hidup
.
Berawal
dari lemahnya aku (seorang yang patah hati) membuat pondasi iman dalam
hati hampir mati. Tak banyak yang dilakukan. Terapi, nasihat, saran
semua hanya representative yang semu bagiku. Berangkat dari kontemplasi
panjang bagaimana cinta itu hadir, bagaimana cinta itu mampu menikam
hati tak kenal ampun, bagaimana cinta telah memberikan ruang keraguan
yang pekat pada-Nya (sang pencinta abadi). Aku mulai berpikir akan nilai
sadar yang menjadi empirisku. Menurut Prof. Abdul Mujib manusia terbagi
menjadi tiga struktur kepribadian dalam psikologi islam. Pertama, jasad
sebagai wadah terluar diri. Kedua, ruh yang berisi Qalbu lalu
memunculkan emosi,. Ketiga, nafs merupakan kombinasi jasad dan ruh lalu
memunculkan Aql. Dari ketiga struktur itulah aku mensintesakan dan
menyadari fungsi dan fitrahnya. Aku merasa lebih tenang dan
berterimakasih atas kelengkapan itu pada diriku. Dalam hal ini
memaksimalkan Aql dari struktur Nafs bukanlah hal yang buruk. Terus
berpikir dan berkontemplasi. Ternyata jawaban itu yang ku temukan.
Ketiga struktur tersebut sangat dinamis berinteraksi, disaat emosi mulai
tak terkontrol, jasad pun terasa lemah, tak kuasa, malang, sakit dan
sebagainya. Namun atas bantuan Aql, semua dalam pencarian panjang.
Rasionalisasi-rasionalisasi dilakukan hingga membentuk
pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan atas empiris hidup dan semua
kesakitan-kesakitan. Qalbu pun menerima tegur sapa yang dinamis itu.
Melepas, menyembuhkan bahkan mencoba ikhlas. Betapa kesadaran itu
memenuhi seluruh ruang dan jiwa. Siapakah yang sesempurna itu mencintai?
Menciptakan kelengkapan-kelengkapan dalam diri? Mungkinkah cinta
seorang manusia biasa yang mewujudkannya
?
Disitulah aku memahami,
cinta semu hanya milik manusia, sementara cinta hakiki hanya milik Tuhan
ku Tuhan Allah dengan segala kesempurnaan cinta-Nya. Tak pantas terlalu
larut meratapi kesemuan cinta hingga sedemikian rupa. Nalar kritis yang
bersumber pada Aql menjembatani telaah kuasa Tuhan. Dia (Allah) mampu
menembus tak hanya kepada hati tetapi juga daya pikir. Mengantarkan
usaha ikhlas dalam relung jiwa. Dia Mahakuasa, dia mampu menciptakan
cinta, lantas mengapa tak mungkin Dia juga memporak-porandakannya
.
Demikianlah beberapa empiris hidup yang telah diformulasikan kedalam konsep penyadaran ruang jiwa.
DIAJUKAN DALAM PERLOMBAAN "ISLAMIC PSYCHOFIESTA FOR LOVE, CARE&CHARITYY" 2010
(karya terbaik ke-2)