EMANSIPASI MANUSIA

(MENYEMPURNAKAN TAUHID, MENDOBRAK DINDING KETIDAKADILAN)
Oleh : Nasreen Ega

Disampaikan pada diskusidi Pusat Studi Pondok Pesantren (PSPP) Ciputat, Tangerang selatan, Banten.
Kamis 11 April 2013.



GENDER DAN SISTEM SOSIAL BUDAYA DALAM MASYARAKAT

Ketika mendengar istilah gender hampir sebagian orang mendefiniskannya sebagai sebuah definisi yang memiliki makna bias. Seolah-olahkata gender ini hanya diperuntukkan bagi perempuan saja, tak hanya itu istilahgender seakan menjadi sebuah definisi yang diperuntukkan hanya bagi kaum modernis dan cenderung kebarat-baratan. Gender menjadi suatu yang biasdan asing, hal ini terjadi akibat faktor penolakan yang pada umumnya terjadi dikalangan masyarakat tradisionalis atau masyarakat awam konvensional. Alasan penolakan tersebut yakni sebuah paham atau sesuatu yang diadopsi dari barat akan menjadi sesuatu yang tidak baik bagi kultur ketimuran yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan cenderung bertentangan dengan syariat Islam.

Kondisi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat dan sistem kebudayaan yang telah lama membelenggu pikiran serta persepi dalam masyarakat. Indonesia merupakan Negara yang begitu kaya dengan nilai-nilai luhur, peradaban dan kebudayaan namun sistem kebudayaan yang telah lama berkembang di masyarakat ini seakan menjadi sebuah pelabelan makna serta pemahaman yang rentan menjadi bias bagi pemahaman akan relasi dan kesetaraan gender. Budaya patriarki yang telah mengendap lama pada setiap sendi-sendi kehidupan di dalamnya seakan sulit untuk dilepaskan.

Berbicara realitas sosial, dalam masyarakat selalu berkembang suatu anggapan yang sangat mendiskreditkan perempuan dari jaman dahulu ketika belum adanya semangat emansipasi, perempuan selalu dianggap sebagai makhluk yang nista. Sehingga tidak heran anggapan yang berkembang dan dilanggengkan sebagai kebiasaan dalam budaya bahwa perempuan harus menjaga martabat dan nama baik keluarga. Perempuan diharuskan berperilaku layaknya seorang perempuan yang terpasung pada budaya patriarki.

Sebagai contoh, perempuan tidak boleh berbicara keras, tidak boleh pulang malam, tidak boleh berada diluar rumah malam-malam, bahkan perempuanakan dianggap menodai nama baik keluarga jika melakukan hal-hal yang dianggap diluar kebiasaan masyarakat pada umumnya.

Dalam sebuah novel yang dilahirkan oleh pejuang keadilan gender diIndonesia yaitu Marhaeni Eva, dipaparkan ngilu dan betapa sakitnya menjadi seorang perempuan dalam tradisi dan adat jawa. Dimana seorang perempuan seniman lukis jalanan sekaligus penari keliling dianggap sebagai pencoreng nama baik keluarga karena profesi tersebut dianggap tidak layak dan keluar dari kebiasaan masyarakat pada umumnya. Dianggap tidak baik karena perempuan yang baik seharusnya berperilaku secara baik, berada di dalam rumah, melakukan pekerjaan yang dianggap sebagaimana perempuan kebanyakan melakukannya. Tidak untuk melukis di jalanan maupun menjadi penari keliling.

MELUCUTI BIAS GENDER YANG TERJADI

Dari paparan realitas contoh-contoh kasus diatas, timbul pertanyaan bagaimana jika yang menjadi aktor dalam kasus-kasus tersebut adalah laki-laki?Tentu akan muncul jawaban yang berbeda. Friedrich Nietzche pernah mengemukakan dalam bukunya sabda Zarathustra bahwa letak kebahagiaan seorang lelaki adalah “aku hendak” sedangkan letak kebahagiaan seorang perempuan adalah “dia hendak”. Terpikirkah ketika ungkapan tersebut dikemukakan? Seakan melegitimasi bahwa memang seorang perempuan tidak diberikan hak lebih untuk berkehendak. Kehendaknya pun diatur dan ditata dalam aturan-aturan masyarakat. Sedangkan laki-laki bebas akan kehendaknya. Dan hal tersebut juga dilanggengkan dalam peraturan yang dibuat oleh masyarakat.

Dimana sebenarnya letak keadilan itu sendiri? Bias gender yangterjadi di dalam masyarakat merupakan kesalahan berpikir dan diamini oleh pemahaman-pemahaman yang langgeng didalam konteks sosial budaya. Gender  bukan berarti apologi-apologi barat guna membela keterbatasan-keterbatasan yang dilegitimasi menjadi sistem nilai dalam masyarakat. Gender hanya merupakan pembedaan antara peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.

Dan sekiranya untuk memahami perbedaanya, terlebih dahulu harus mampu memisahkan ruang dan batas antara mana yang fitrah dalam hal ini perbedaan yang mendasar dalam diri manusia, dan mana yang hanya terkonstruk dalam budaya. Sehingga penyadaran akan bias gender ini dapat terlucuti.

Perempuan diperlakukan dengan sangat diskriminatif dikarenakan pemahaman masyarakat berkembang melalui pembedaan-pembedaan yang terlahir dalam rahim budaya. Sebagai contoh mengapa perempuan lebih dibebankan kepada serangkaian aturan-aturan yang membelenggu dan dianggap melanggar norma dalam masyarakat apabila melanggarnya karena perempuan dianggap sebagai manusia yang menjadi kehormatan bagi keluarganya, dan bersinggungan dengan keharusan-keharusan dalam masyarakat agar perempuan mampu bersikap taat, santun dan tetap lurus terhadap norma-norma dalam masyarakat. Pertanyaan mendasarnya kini adalah bagaimana dengan lelaki? Bukankah lelaki juga memiliki tanggung jawab yang sama yaitu menjaga kehormatan keluarga?

Jika seorang perempuan menjadi seorang pelukis jalanan dan hidup di jalanantentu masyarakat yang melihat akan mengernyitkan dahi dan berkata “perempuantidak benar, kok hidup di jalanan jadi apa?” sementara jika seoranglaki-laki yang hidup di jalanan tentu masyarakat akan memandang menjadi suatuhal yang biasa-biasa saja dan berkata “lumrah kok anak laki-laki tentu harus bertarung hidup dan merasakan bagaimana jalanan”.


Sangat ngilu dan sakit ketika harus menyaksikan ketimpangan sosial semacam ini. mengapa hal itu terjadi? Lagi-lagi jawabannya adalah sama. Masyarakat terjebak dalam bias gender. Terjebak pada pembedaan mana yang benar-benar membedakan antara laki-laki dan perempuan secara fitrah, dan mana secara konstruksi budaya belaka. Hal yang paling mendasar yang membedakan lelaki dan perempuan hanya terletak pada jenis kelamin, organ-organ biologis yang terdapat dalam diri laki-laki dan perempuan, begitupun dalam perihal tugas dimana lelaki tidak bertugas melahirkan dan perempuan bertugas melahirkan. Lelaki tidak bertugas menyusui dan perempuan bertugas menyusui serta perihal lainnya yang menjadikan pembedaan tersebut mendasar.

MENYEMPURNAKAN TAUHID DALAM BERKEADILAN

Dalam konsep tauhid, kita meyakini bahwa Tuhan menjadi satu-satunya yang patut kita taati dan kitasembah. Tiada sekutu maupun dzat lain yang patut ditaati selain-Nya. Hanya firman-Nya yang menjadi satu-satunya pegangan hidup. Tidak ada siapapun juga yang patut disembah selain Tuhan semesta alam. Tidak ada manusia yang mengungguli manusia lainnya. Semua sama dan setara derajatnya dimata Tuhan, Allah Swt.

Jika demikian mengapa selalu ada dominasi dan diskriminasi dalam peradaban hidup manusia? Dalam hal ini Prof. Nassarudin Umar mengemukakan beberapa ukuran yang dapat dilihat dalam keadilan dan kesetaraan gender guna menyempurnakan ke-tauhid-an manusia di bumi ini. beberapa diantaranya adalah tujuan manusia diciptakan di bumi ini adalah untuk menyembah Allah (QS: Adz-dzariyat 51:56) dan maksud serta tujuan penciptaan manusia di bumi selain untuk menyembah Allah swt, juga untuk menjadi khalifah di muka bumi. (QS: Al-an’an 6:165).

 Beberapa ukuran tersebut seharusnya mampu diresapi menjadi sesuatu yang dapat dipahami secara benar. Ketika Allah menyebutkan manusia diciptakan untuk sama-sama menyembah bahkan sama-sama menjadi khalifah, tidak ada perbedaan yang dijelaskan laki-laki atau perempuan yang harus melakukannya. Tetapi mereka secara keseluruhan. Laki-laki dan perempuan. Dan mereka wajib mempertanggung jawabkanapa yang mereka lakukan secara individu.

Jadi, dalam hal ini seharusnya tidak perlu ada pembeda lagi antaralaki-laki dan perempuan. Yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah fitrah yang dimilikinya sejak lahir dan tingkat ketakwaannya terhadap AllahSwt.
Kiranya Tauhid dipandang menjadi suatu yang penting, maka menyempurnakan Tauhid adalah mendobrak paradigma yang menutupi wajah keadilan, wajah persamaan hak, wajah kesetaraan.

Emansipasi yang diartikan sebagai gerakan pembebasan untuk mendapatkan persamaan hak tidak lagi disandang oleh perempuan saja.Tetapi emansipasi juga boleh disandang untuk laki-laki. Siapapun manusia-manusia yang menginginkan persamaan hak dalam kehidupan yang telah diciptakan oleh Allah Swt, Tuhan semseta alam. Mereka bebas memiliki persamaan hak tersebut. Tentu Tuhan tak akan marah jika perempuan menginginkan hak yang sama seperti lelaki, tentunya hak yang bertanggung jawab akan pemaknaan nilai kodrat dan pemaknaan sebagai hamba dan khalifah yang mempertanggung jawabkan segalanya secara individu. Tuhan tak akan marah dengan emansipasi manusia untuk membebaskan diri dari belenggu patriarki yang diciptakan dari hasil budaya manusia. Budaya yang diciptakan oleh sesama manusia. Sesama manusia yang menjadi hamba Allah. Allah Swt yang memberikan firman akan hidup berkeadilan bagi seluruh umat manusia.



Disampaikan dalam diskusi menyambut hari kartini

Ciputat, 11 April 2013

Ketua Bidang Eksternal Kohati HMI Cabang Ciputat 2012-2013

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel