KEJAHATAN SEKSUAL ANAK; SEBUAH SUDUT PANDANG HOLISTIK


Oleh : *Nasreen Ega

Kejahatan Seksual Anak; Kasus hot sebuah prahara amoral

Beberapa waktu lalu bertepatan dengan iklim politik yang kian memanas akibat pesta demokrasi pemilihan legislatif di seluruh penjuru tanah air, kita dihebohkan dengan kasus kejahatan seksual terhadap siswa di salah satu sekolah bertaraf internasional yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Kasus tersebut  heboh diberitakan bahwa siswa TK di sekolah itu mendapatkan perlakuan pelecehan seksual oleh tiga orang oknum yang berada di sekolah tersebut. Dua diantaranya adalah petugas kebersihan sekolah dan satu warga negara asing. Lelaki ini adalah salah satu pengajar di sekolah itu.

Kasus tersebut tentu menimbulkan kemarahan masyarakat luas dan lembaga-lembaga yang bertugas melindungi hak-hak anak. Segala bentuk aksi protes, kritik dan dampak lainnya bermunculan seiring mencuatnya kasus itu. Lembaga pemerintah seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan KEMENDIKBUD RI ikut mengecam dan memberikan sanksi tegas kepada instansi terkait dan oknum yang melakukan perbuatan amoral perusak mental. Hal itu dilakukan guna memberikan efek jera kepada para pelaku dan memberikan perlindungan terhadap kondisi kejiwaan pada anak selaku korban.

Rekam Jejak Tindak Amoral Perusak Mental

Menurut pemberitaan di media-media cetak maupun pemberitaan di televisi belakangan ini, telah diungkap oknum yang melakukan tindak kejahatan ini satu diantaranya telah melakukan tindak bunuh diri di toilet kepolisian saat sedang diadakannya penyelidikan. Hal tersebut tentu saja menjadi pertanyaan berbagai pihak mengenai kasus ini, apakah kasus itu murni tindakan bunuh diri atau ada motif lain yang mendalanginya. Namun setelah diselidiki lebih lanjut akhirnya terungkap juga bahwa kasus tersebut adalah murni bunuh diri yang dilakukan oleh oknum itu sendiri, dan diduga motifnya adalah perasaan tertekan yang menyelimuti benak pelaku.

Kemudian, menurut pemberitaan pula kasus itu juga diselidiki oleh FBI (Kepolisian Federal Amerika Serikat) dan hasil dari penyelidikannya adalah para pelaku yang tersebar dalam jaringan international school kerap kali melakukan tindakan kejahatan seksual terhadap anak diseluruh wilayah jaringan tersebut tersebar. Pada umumnya mereka yang tergabung dalam jaringan international school dan berprofesi sebagai pengajar maupun pengelola sekolah diduga pernah melakukan perbuatan yang merusak mental kepada anak didiknya (VIVAnews, 23/04/14)

Dapat dibayangkan berapa banyak anak-anak yang mendapat tindak kejahatan semacam itu, dan bagaimana pula dampaknya bagi perkembangan mental si anak yang nantinya akan dibawa seumur hidupnya. Jika ada satu anak yang bersekolah di sekolah taraf internasional tersebut mengaku mendapat perlakuan semacam itu dari beberapa orang oknum, tentu dapat dimungkinkan terdapat beberapa anak lagi diantaranya yang mendapatkan perlakuan sama hanya saja karena perasaan takutnya tidak dapat mengungkapkan apa-apa.

Warisan Trauma seumur hidup

Menurut UU Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan dan diberikan perlindungan terhadap hak-hak dan pertumbuhannya. Tentu saja undang-undang ini dimaksudkan untuk menjamin hak hidup seorang anak, dan negara bertanggung jawab penuh terhadap hak anak tersebut. Alasan utama diterbitkannya undang-undang perlindungan anak adalah demi menjaga keutuhan serta kemajuan negara yang berdaulat dan bermartabat. Bagaimana tidak? Anak merupakan cikal bakal generasi penerus yang di dalam genggamannya negara ini dapat maju dan berkembang. Tumpuan dan harapan merupakan warisan yang akan diwariskan kepada mereka kelak. Tanggung jawab akan cita-cita besar bangsa Indonesia akan diberikan sepenuhnya kepada mereka.

Namun melihat realitas yang terjadi pada hari ini terkait kasus kejahatan seksual yang terjadi di instansi pendidikan bertaraf internasional itu seakan-akan meruntuhkan impian dan harapan yang telah dikemas melalui UU Perlindungan anak tersebut. Sangat disayangkan tunas muda harapan bangsa harus dirusak mentalnya, dicabik-cabik spiritnya dan diberikan memori berupa traumatik berkepanjangan dalam hidupnya. Hal ini harus menjadi sorotan bersama. Betapa nasib bangsa berada di dalam genggaman tunas bangsa, maka sudah sepantasnya kasus yang merusak mental tunas bangsa tersebut harus ditindak secara tegas.

Mengkaji problematika yang terjadi terhadap kasus kejahatan terhadap anak berupa tindak kekerasan seksual tersebut dapat dipandang dari kacamata hukum dan psikologi.  Dalam pandangan hukum yang diatur dalam UU Perlindungan hukum No 23 Tahun 2002, kasus yang dilakukan oleh beberapa orang oknum di Jakarta International School (salah satu sekolah bertaraf internasional yang menjadi pemberitaan) telah melanggar pasal 13 yang berbunyi bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Sedangkan menurut pasal 82 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dalam kasus yang tengah berkembang dan berhadapan dengan muka hukum itu, jelas para pelaku tindak kejahatan seksual harus ditindak secara tegas sesuai dengan pasal UU Perlindungan anak yang dilanggar serta ditetapkan sanksi sesuai dengan sanksi yang berlaku juga. Namun demikian, adanya sanksi yang berlaku guna memberikan efek jera kepada para pelaku tidak dapat menjamin stabilitas mental pada anak yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut.

Secara psikologis, mentalitas pada anak selaku korban akan terganggu stabilitasnya. Hal ini akan menjadi dampak dan pengaruh yang akan dibawa seumur hidup anak. Anak akan merekam tindakan yang dilakukan terhadapnya dan disimpannya baik-baik ke dalam alam bawah sadarnya. Terlebih lagi pada usia dini anak mengalami proses rekam memori yang sangat baik. Pada saat itu otak anak akan sangat baik memproses pengetahuan maupun pengalaman yang mereka alami. Anak selaku korban yang mengalami kejahatan seksual akan merasakan ketakutan saat pelaku melakukan tindakannya. Ketakutan inilah yang akan dibawa anak sampai kapanpun, dan jika di saat dewasa alam bawah sadarnya naik ke permukaan bisa jadi anak yang mengalami kondisi traumatis tersebut akan melakukan hal yang pernah dialaminya kepada orang lain.

Analisa di atas merupakan analisa berdasarkan teori seorang psikolog berkebangsaan Jerman, Sigmund Freud. Dalam teorinya Freud mengemukakan tentang alam bawah sadar dan bagaimana kedahsyatannya membentuk kepribadian seorang individu. Alam bawah sadar yang semakin lama semakin dipendam dan berbekas di memori seseorang, lambat laun akan naik ke permukaan juga. Karena pada prinsipnya alam bawah sadar ini adalah sesuatu yang suatu saat dapat dimunculkan tanpa sadar oleh seseorang.

Pangkas Tuntas Kejahatan Seksual Terhadap Anak Hingga Ke Akarnya.

Berdasarkan analisa psikologis di atas, dapat dilihat sebuah gambaran buram tentang masa depan anak selaku korban yang mengalami kondisi traumatis berkepanjangan. Seperti yang dapat dilihat juga terhadap tinjauan hukum menurut UU Perlindungan Anak, sanksi yang diterima oleh pelaku tampaknya tidak sebanding dengan penderitaan mental yang dialami oleh anak seumur hidup mereka. 

Dalam kasus ini, baik pelaku maupun korban memerlukan penanganan secara psikologis. Karena jika tidak demikian, kasus kejahatan seksual pada anak akan menjadi mata rantai yang tidak dapat diputus. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh pelaku kepada korban adalah bentuk kelainan yang pernah didapatkannya di masa silam. Dan tidak menutup kemungkinan pula, posisi korban saat ini dapat menjadi pelaku dikemudian hari. Hal ini diakibatkan oleh alam bawah sadar yang naik ke permukaan.

Melihat fenomena yang terjadi itu sudah seharusnya tindak kejahatan seksual tersebut dapat dipangkas tuntas hingga ke akarnya. Dengan memberikan penanganan secara intensif kepada kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban. Penanganan secara psikologis dapat membantu pelaku selaku yang memiliki kelainan orientasi seksual menemukan sisi normalitas dalam perilaku seksualnya. Sementara bagi pihak korban, dapat diberikan pertolongan penanganan traumatisnya sehingga tidak menjadi racun yang mengendap di dalam memorinya, dan suatu saat dapat menjadi sesuatu yang membentuk kepribadiannya bahkan menjadi pemicu kelainan perilaku seksualnya.

Dengan memperhatikan berbagai macam aspek dari kedua belah pihak, besar harapan pihak-pihak terkait dapat bijak dalam menentukan dan melakukan sebuah tindakan untuk kasus tersebut. Karena melalui kasus inilah sudut pandang pihak-pihak terkait yang peduli terhadap problematika moral bangsa dapat teruji.

*Penulis adalah : Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Psikologi Peminatan Klinis-Forensik


(April 2014)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel