MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU

Oleh : Nasreen Ega


Puspitaningrum, Perempuan Jawa itu

Mataku nanar. Redup, terang lalu redup kembali memancar. Lagi dan lagi lalu terulang lagi. Maka dengan sekuat tenaga aku mendobrak pintu kamar paling ujung dari rumah ini. Agak menjorok ke dalam. Tepat di sebelah kanan dapur.  Kudengar isak tangis dari dalam kamar yang dari tadi kugedor. Tangis di dalam semakin menjadi jadi. Sesegukan, Meraung minta ampun dan belas kasih. Aku tak tahan, segera kutendang dengan sepatu kets yang masih kugunakan.

“mbak arum!!!” nadaku setengah menjerit, mataku mencuat keluar. Ada nanar dalam gelap pandangku.

“mas dika keterlaluan!!! Hentikan perbuatan itu mas!” hardikku dengan keras kepada manusia setengah binatang di hadapanku.

Segera kurengkuh tubuh saudariku yang daritadi terlihat bersujud, bersimpuh di kaki si bedebah itu. Kupegangi tangannya, kuperhatikan wajahnya. Biru lebam dan air matanya bersimbah.

“engak dek.. mbak yang salah.. mbak ndak patuh sama suami.. mbak ndak bisa melayani dengan baik..” ucap mbak arum diiringi dengan tangis sesegukannya.

Segera kuseka air matanya, kuajak keluar dari kamar setan itu. Tapi mbak arum menolak. Mbak arum lebih memilih memohon ampun pada salah satu kurawa yang melotot dan petentang- petenteng di depan kami ini.  Nalarku tak habis pikir, mengapa mbak arum masih bisa melakukan hal itu. Tidakkah ia merasa harga dirinya sebagai seorang perempuan.. ahh tidak, bukan seorang perempuan lagi.. melainkan harga dirinya sebagai manusia telah dirampas? Dirampas lalu diinjak-injak kemudian dibuang ke tempat pembuangan terkeji. Lebih keji dari tempat pembuangan kotoran alias septictank.

Pasti dengan masalah yang sama. Hal yang terus menerus terulang dalam rumah tangga mbak arum dan suaminya yang setengah waras itu. Sebegitu kesalnya aku dengan mas dika sampai-sampai aku sulit untuk berlaku hormat padanya. Aku jenuh dan sedih berada di rumah ini. Ya, karena faktor ekonomi aku terpaksa ikut mbak arum , semua tentu disebabkan  ia yang membiayai kuliahku dan orang tuaku di desa telah menitipakanku pada saudariku itu.

Awalnya aku tidak kerasan tinggal bersama kakak perempuanku dan iparku. Selain rasa canggung dan tidak enak, aku juga merasa tidak kuat melihat perlakuan mas dika pada kakakku. Setiap hari selalu ada tontonan tidak sehat yang disuguhkan di rumah ini. Kadang mas dika juga tidak segan-segan mempertontonkan kekasarannya di depan dimas. Anak semata wayang mereka. Ingin rasanya aku mengajak mbak arum pergi meninggalkan rumah penyiksaan itu. Namun setelah bertahun-tahun ikut mbak arum. Aku sedikit banyak memahami beban bathinnya. Sehingga aku merasa perlu untuk terus berada di dekatnya. Menemaninya dan menjaganya dari predator buas di rumah ini.

“kenapa lagi sih mbak?” tanyaku pada mbak arum sambil mengompres lukanya dengan air dingin. Ku kompres pipi lebamnya. Aku membersihkan lukanya di ruang tengah. Mas dika sudah pergi. Entah kemana. Dalam kondisi seperti ini mas dika biasanya pergi. Entah kemana. Baru setelah keadaan membaik mas dika pulang ke rumah dengan “biasanya” membawakan berbagai macam hal yang disukai oleh mbak arum. Seperti bunga, coklat atau barang-barang yang diinginkan oleh mbak arum. Entahlah, hal itu terus terjadi selama yang aku tahu. Entah telah menjadi kebiasaan setelah membuat keadaan tidak menyenangkan lalu ditebusnya dengan berjuta “sogokan” atau entahlah... aku tak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh kakak iparku itu.

“mbak sedang haid dek.. masmu maksa...” mbak arum memulai pembicaraan. Suaranya nyaris tidak terdengar. Kulihat mimiknya yang menahan rasa sakit saat kututulkan handuk kompresan ke dekat mata bawahnya yang membiru. Tubuhnya ditarik menghindar kebelakang namun maju lagi untuk menyambut tanganku mendarat di luka memarnya, tapi beringsut lagi. Mungkin karena rasanya masih sakit dan nyeri.

“loh mas dika itu apa ya ndak ngerti kalau lagi haid apa ya nikmat toh mbak?” tanyaku kemudian.

Mbak arum terdiam. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sangat pelan.

“lelaki itu semena-mena banget mbak.. gimana coba pikirannya kalau sedang haid melakukan hubungan intim, bagaimana caranya? Apa ya dia ndak kasian dengan dirimu mbak? Tanyaku lagi.

“mas dika itu sedang stres ti.. wajar dia begitu.. dia sedang ada problem dengan tempat kerjanya. Masih wajar toh ti.. itu tandanya mas dika masih tetep yo milih aku sebagai istri dalam hasratnya. Sudah bener. Masih mending. ‘coba kalo dia jajan di luar. Gimana toh jadinya?” Mbak arum memberi penjelasan

Kutarik napas panjang dalam-dalam. Kuhela perlahan. Aku lelah memberi rasionalisasi-rasionalisasi pada saudariku ini. Sikap lembut dan penurutnya adalah sifat perempuan-perempuan jawa pada umumnya. Hasil konstruksi budaya yang mengakar kuat. Sekuat apapun aku memberikan pemahaman kepadanya sekuat itulah mbak arum akan mempertahankan apa yang dianggapnya adalah suatu kewajaran.

“mbak, aku harus ke kampus. Mbak mendingan istirahat ya..” kataku kemudian, bergegas memebereskan peralatan kompres yang ada di meja.

“iya ti.. kamu hati-hati ya.. mbak mau istirahat dulu nanti siang baru jemput dimas di sekolahnya.” Mbak arum ikut beranjak dari tempat duduknya.


“iya mbak, kinanti pamit ya..” kataku sambil berlalu menuju dapur membawa peralatan kompres lalu segera keluar rumah.


(Bersambung...)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel