MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU
2014-12-10
Oleh : Nasreen Ega
Puspitaningrum,
Perempuan Jawa itu
Mataku
nanar. Redup, terang lalu redup kembali memancar. Lagi dan lagi lalu terulang
lagi. Maka dengan sekuat tenaga aku mendobrak pintu kamar paling ujung dari
rumah ini. Agak menjorok ke dalam. Tepat di sebelah kanan dapur. Kudengar isak tangis dari dalam kamar yang
dari tadi kugedor. Tangis di dalam semakin menjadi jadi. Sesegukan, Meraung
minta ampun dan belas kasih. Aku tak tahan, segera kutendang dengan sepatu kets
yang masih kugunakan.
“mbak
arum!!!” nadaku setengah menjerit, mataku mencuat keluar. Ada nanar dalam gelap
pandangku.
“mas
dika keterlaluan!!! Hentikan perbuatan itu mas!” hardikku dengan keras kepada
manusia setengah binatang di hadapanku.
Segera
kurengkuh tubuh saudariku yang daritadi terlihat bersujud, bersimpuh di kaki si
bedebah itu. Kupegangi tangannya, kuperhatikan wajahnya. Biru lebam dan air
matanya bersimbah.
“engak
dek.. mbak yang salah.. mbak ndak patuh sama suami.. mbak ndak bisa melayani
dengan baik..” ucap mbak arum diiringi dengan tangis sesegukannya.
Segera
kuseka air matanya, kuajak keluar dari kamar setan itu. Tapi mbak arum menolak.
Mbak arum lebih memilih memohon ampun pada salah satu kurawa yang melotot dan petentang- petenteng di depan kami
ini. Nalarku tak habis pikir, mengapa
mbak arum masih bisa melakukan hal itu. Tidakkah ia merasa harga dirinya
sebagai seorang perempuan.. ahh tidak, bukan seorang perempuan lagi.. melainkan
harga dirinya sebagai manusia telah dirampas? Dirampas lalu diinjak-injak
kemudian dibuang ke tempat pembuangan terkeji. Lebih keji dari tempat
pembuangan kotoran alias septictank.
Pasti dengan masalah yang sama. Hal yang terus
menerus terulang dalam rumah tangga mbak arum dan suaminya yang setengah waras
itu. Sebegitu kesalnya aku dengan mas dika sampai-sampai aku sulit untuk
berlaku hormat padanya. Aku jenuh dan sedih berada di rumah ini. Ya, karena
faktor ekonomi aku terpaksa ikut mbak arum , semua tentu disebabkan ia yang membiayai kuliahku dan orang tuaku di
desa telah menitipakanku pada saudariku itu.
Awalnya aku tidak kerasan tinggal bersama kakak
perempuanku dan iparku. Selain rasa canggung dan tidak enak, aku juga merasa
tidak kuat melihat perlakuan mas dika pada kakakku. Setiap hari selalu ada
tontonan tidak sehat yang disuguhkan di rumah ini. Kadang mas dika juga tidak
segan-segan mempertontonkan kekasarannya di depan dimas. Anak semata wayang
mereka. Ingin rasanya aku mengajak mbak arum pergi meninggalkan rumah
penyiksaan itu. Namun setelah bertahun-tahun ikut mbak arum. Aku sedikit banyak
memahami beban bathinnya. Sehingga aku merasa perlu untuk terus berada di
dekatnya. Menemaninya dan menjaganya dari predator buas di rumah ini.
“kenapa
lagi sih mbak?” tanyaku pada mbak arum sambil mengompres lukanya dengan air
dingin. Ku kompres pipi lebamnya. Aku membersihkan lukanya di ruang tengah. Mas
dika sudah pergi. Entah kemana. Dalam kondisi seperti ini mas dika biasanya
pergi. Entah kemana. Baru setelah keadaan membaik mas dika pulang ke rumah
dengan “biasanya” membawakan berbagai macam hal yang disukai oleh mbak arum.
Seperti bunga, coklat atau barang-barang yang diinginkan oleh mbak arum.
Entahlah, hal itu terus terjadi selama yang aku tahu. Entah telah menjadi
kebiasaan setelah membuat keadaan tidak menyenangkan lalu ditebusnya dengan
berjuta “sogokan” atau entahlah... aku tak bisa menebak apa yang dipikirkan
oleh kakak iparku itu.
“mbak
sedang haid dek.. masmu maksa...” mbak arum memulai pembicaraan. Suaranya
nyaris tidak terdengar. Kulihat mimiknya yang menahan rasa sakit saat
kututulkan handuk kompresan ke dekat mata bawahnya yang membiru. Tubuhnya
ditarik menghindar kebelakang namun maju lagi untuk menyambut tanganku mendarat
di luka memarnya, tapi beringsut lagi. Mungkin karena rasanya masih sakit dan
nyeri.
“loh
mas dika itu apa ya ndak ngerti kalau lagi haid apa ya nikmat toh mbak?” tanyaku kemudian.
Mbak
arum terdiam. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sangat pelan.
“lelaki
itu semena-mena banget mbak.. gimana coba pikirannya kalau sedang haid
melakukan hubungan intim, bagaimana caranya? Apa ya dia ndak kasian dengan
dirimu mbak? Tanyaku lagi.
“mas
dika itu sedang stres ti.. wajar dia begitu.. dia sedang ada problem dengan
tempat kerjanya. Masih wajar toh ti.. itu tandanya mas dika masih tetep yo milih aku sebagai istri dalam
hasratnya. Sudah bener. Masih mending. ‘coba kalo dia jajan di luar. Gimana toh jadinya?” Mbak arum memberi
penjelasan
Kutarik
napas panjang dalam-dalam. Kuhela perlahan. Aku lelah memberi
rasionalisasi-rasionalisasi pada saudariku ini. Sikap lembut dan penurutnya
adalah sifat perempuan-perempuan jawa pada umumnya. Hasil konstruksi budaya
yang mengakar kuat. Sekuat apapun aku memberikan pemahaman kepadanya sekuat
itulah mbak arum akan mempertahankan apa yang dianggapnya adalah suatu
kewajaran.
“mbak,
aku harus ke kampus. Mbak mendingan istirahat ya..” kataku kemudian, bergegas
memebereskan peralatan kompres yang ada di meja.
“iya
ti.. kamu hati-hati ya.. mbak mau istirahat dulu nanti siang baru jemput dimas
di sekolahnya.” Mbak arum ikut beranjak dari tempat duduknya.
“iya
mbak, kinanti pamit ya..” kataku sambil berlalu menuju dapur membawa peralatan
kompres lalu segera keluar rumah.
(Bersambung...)