MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU (Part 2)
2015-01-09
Oleh : Nasreen-Ega
Aku menuju perpustakaan kampus dengan langkah yang gontai. Persoalan rumah tangga mbak arum masih ada di kepalaku. Terekam jelas. Sangat jelas. Rekaman itu mengganggu hari-hariku. Kupikir kehidupan rumah tangga mbak arum sudah tidak sehat lagi. Sebegitunyakah otoritas laki-laki, yang ketika dalam rumah tangga ia ingin menyalurkan hasrat seksualnya harus segera dipenuhi. Sebegitu sakralnya hasrat itu hingga mengebiri potensi kemanusiaan.
Aku menuju perpustakaan kampus dengan langkah yang gontai. Persoalan rumah tangga mbak arum masih ada di kepalaku. Terekam jelas. Sangat jelas. Rekaman itu mengganggu hari-hariku. Kupikir kehidupan rumah tangga mbak arum sudah tidak sehat lagi. Sebegitunyakah otoritas laki-laki, yang ketika dalam rumah tangga ia ingin menyalurkan hasrat seksualnya harus segera dipenuhi. Sebegitu sakralnya hasrat itu hingga mengebiri potensi kemanusiaan.
Jika hasrat itu
sangat sakral, apakah Tuhan menciptakan sakral dan sucinya hasrat untuk
memangsa tubuh lemah tak berdaya manusia lainnya. Apakah hasrat ada sebagai
dorongan penindasan dari yang kuat untuk yang lemah. Apakah mbak arum tahu
bahwa ia bisa saja melawan. Melawan kedzholiman mas dika. Ahhh aku yakin mbak
arum tahu, mbak arum sangat cerdas. Tetapi mengapa ia memilih diam? Ya, dia
memilih melestarikan warisan budaya. Budaya perempuan-perempuan jawa pada
umumnya. Lembut dan anggun bagaikan angsa di danau. Mengerti tata krama dan santun
dalam perlakuan khususnya pada suami. Tetapi tidakkah ia berpikir kalau ia juga
berhak mendapatkan hal serupa? Hak yang sama seperti yang dimiliki oleh
suaminya.
“oiii..
kinan” tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku. Ku tengok ke arah munculnya
suara. Ternyata santi. Sambil terpongah-pongah ia menghampiriku.
“ada
apa santi?” tanyaku setelah ia berada disampingku.
“aduh
kinanti, dicariin dari tadi juga...huuuhh” santi tampak mengatur nafasnya yang
tersengal-sengal.
“iya
maaf, tadi aku duluan. Aku mau langsung cari buku san..” kataku memperlihatkan
wajah tak enakku padanya.
“iya..
iya... tapi kan nungguin dulu bisa kali.. udah aku tungguin eh malah ninggalin
kamu.. huuhhh gak best friend kamu” ujar santi sambil seolah-olah marah.
“hehhe
iyaaa, aku minta maaf ya santi... aku bentul-betul lagi pengen duluan. moodku
lagi ga enak banget..” kataku sambil jalan mencari tempat duduk yang nyaman di
perpustakaan ini. Santi mengikuti.
“ada
masalah ya kamu?” santi tampak serius menunggu jawabanku. Aku diam saja. Aku
segera duduk di tempat duduk yang kosong.
“santi,
kayaknya waktunya ga pas deh. Kita keluar aja gimana, gak enak kalau mengganggu
yang lainnya baca buku” tuturku mengajaknya untuk pergi.
Santi
diam saja tak menjawab, hanya mengikutiku bangkit dari tempat duduk lalu pergi
menuju taman kampus.
Cuaca
siang ini tampak malu-malu, ada segurat mendung di langit yang tampak biru.
Nampaknya mendung masih ingin bersemubunyi di balik punggung awan namun tetap
saja mendung sedang menunggu. Menunggu giliran untuk menumpahkan hujan ke bumi.
Terang, namun tak panas.
Kuhempaskan
diri di kursi panjang taman yang menjorok ke bibir danau buatan sepanjang jalan kampus. Tampak
daun-daun berguguran memenuhi permukaan danau. Aku bersandar sambil mengatupkan
ke dua tangan di depan dada.
“aku
rasanya pingin ngekos san..” kataku perlahan.
Santi
menoleh sambil membetulkan posisi duduknya di sampingku.
“lho
kenapa kok kamu tiba2 mau ngekos gitu?” tanyanya kemudian.
“aku
sudah gak betah tinggal di rumah mbak-ku san, ga kuat melihat mbak arum terus
menerus diperlakukan dengan biadab sama mas dika.. ga kuat aku san...”aku
tertunduk lesu, tak terasa air mata menetes di pipi mulusku. Aku sudah sering
kali bercerita tentang rumah tangga mbak arum pada sahabatku itu. Sahabatku itu
sangat bisa dipercaya apalagi ceritaku adalah cerita aib keluargaku.
“lho..
kinan.. kok nangis.. iya aku ngerti kinan.. sudah jangan nangis lagi ya.. lebih
kurangnya aku bisa memahami beban jiwamu nan.. kamu sudah sering menceritakan
hal itu ke aku. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu adalah kehidupan rumah tangga
mbakmu.. dan kamu tidak boleh mencampurinya..” santi mendekatiku dan
menyandarkan kepalaku di bahunya.
Aku
tak bisa bicara lagi saat ini, aku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah tidak
kuat untuk tidak menumpahkan semua yang kurasakan selama ini. Santi dengan
sabar menenangkan aku.
Keputusanku
untuk tinggal terpisah semakin bulat. Bukan karena aku egois, tapi aku juga
memikirkan kondisi kejiwaanku jika aku terus menerus di rumah mbak arum dengan
pertikaiannya hampir setiap hari. Akan tidak baik untuk perkembangan jiwaku. Aku
tidak kuat melihat mas dika sebagai kepala rumah tangga di rumah itu
memperlakukan mbak arum semena-mena. Sempat terpikir bagaimana dimas, bagaimana
mbak arum. Bagaimana kondisi kejiwaan mereka jika sehari-hari dihadapkan oleh
orang setengah waras itu. Hatiku sangat dilema. Namun apapun yang terjadi aku
harus segera keluar dari rumah itu. Toh aku
sudah berusaha untuk mengajak mbak arum pergi dari sana, hanya saja ia menolak
dan tetap pada pendirianya untuk mempertahankan rumah tangganya. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa.
Saat itu mas dika yang masih melihat mbak arum tergeletak di atas tempat tidur segera membangunkan mbak arum. Hingga akhirnya mbak arum terbangun. Ketika mbak arum bangun, mas dika langsung memarahinya tak kenal ampun. Mbak arum mencoba untuk menjelaskan kepada mas dika, namun saat itu mas dika sangat marah. Mas dika sangat benci jika setiap perkataannya dibantah, dan saat itu pula sebuah tinju mendarat tepat diwajah ayu mbak arum.
(Bersambung...)