MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU (Part 2)

Oleh : Nasreen-Ega

Aku menuju perpustakaan kampus dengan langkah yang gontai. Persoalan rumah tangga mbak arum masih ada di kepalaku. Terekam jelas. Sangat jelas. Rekaman itu mengganggu hari-hariku. Kupikir kehidupan rumah tangga mbak arum sudah tidak sehat lagi. Sebegitunyakah otoritas laki-laki, yang ketika dalam rumah tangga ia ingin menyalurkan hasrat seksualnya harus segera dipenuhi. Sebegitu sakralnya hasrat itu hingga mengebiri potensi kemanusiaan.

Jika hasrat itu sangat sakral, apakah Tuhan menciptakan sakral dan sucinya hasrat untuk memangsa tubuh lemah tak berdaya manusia lainnya. Apakah hasrat ada sebagai dorongan penindasan dari yang kuat untuk yang lemah. Apakah mbak arum tahu bahwa ia bisa saja melawan. Melawan kedzholiman mas dika. Ahhh aku yakin mbak arum tahu, mbak arum sangat cerdas. Tetapi mengapa ia memilih diam? Ya, dia memilih melestarikan warisan budaya. Budaya perempuan-perempuan jawa pada umumnya. Lembut dan anggun bagaikan angsa di danau. Mengerti tata krama dan santun dalam perlakuan khususnya pada suami. Tetapi tidakkah ia berpikir kalau ia juga berhak mendapatkan hal serupa? Hak yang sama seperti yang dimiliki oleh suaminya.


“oiii.. kinan” tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku. Ku tengok ke arah munculnya suara. Ternyata santi. Sambil terpongah-pongah ia menghampiriku.

“ada apa santi?” tanyaku setelah ia berada disampingku.

“aduh kinanti, dicariin dari tadi juga...huuuhh” santi tampak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

“iya maaf, tadi aku duluan. Aku mau langsung cari buku san..” kataku memperlihatkan wajah tak enakku padanya.

“iya.. iya... tapi kan nungguin dulu bisa kali.. udah aku tungguin eh malah ninggalin kamu.. huuhhh gak best friend kamu” ujar santi sambil seolah-olah marah.

“hehhe iyaaa, aku minta maaf ya santi... aku bentul-betul lagi pengen duluan. moodku lagi ga enak banget..” kataku sambil jalan mencari tempat duduk yang nyaman di perpustakaan ini. Santi mengikuti.

“ada masalah ya kamu?” santi tampak serius menunggu jawabanku. Aku diam saja. Aku segera duduk di tempat duduk yang kosong.

“santi, kayaknya waktunya ga pas deh. Kita keluar aja gimana, gak enak kalau mengganggu yang lainnya baca buku” tuturku mengajaknya untuk pergi.

Santi diam saja tak menjawab, hanya mengikutiku bangkit dari tempat duduk lalu pergi menuju taman kampus.

Cuaca siang ini tampak malu-malu, ada segurat mendung di langit yang tampak biru. Nampaknya mendung masih ingin bersemubunyi di balik punggung awan namun tetap saja mendung sedang menunggu. Menunggu giliran untuk menumpahkan hujan ke bumi. Terang, namun tak panas.
Kuhempaskan diri di kursi panjang taman yang menjorok ke bibir danau  buatan sepanjang jalan kampus. Tampak daun-daun berguguran memenuhi permukaan danau. Aku bersandar sambil mengatupkan ke dua tangan  di depan dada.

“aku rasanya pingin ngekos san..” kataku perlahan.
Santi menoleh sambil membetulkan posisi duduknya di sampingku.

“lho kenapa kok kamu tiba2 mau ngekos gitu?” tanyanya kemudian.

“aku sudah gak betah tinggal di rumah mbak-ku san, ga kuat melihat mbak arum terus menerus diperlakukan dengan biadab sama mas dika.. ga kuat aku san...”aku tertunduk lesu, tak terasa air mata menetes di pipi mulusku. Aku sudah sering kali bercerita tentang rumah tangga mbak arum pada sahabatku itu. Sahabatku itu sangat bisa dipercaya apalagi ceritaku adalah cerita aib keluargaku.

“lho.. kinan.. kok nangis.. iya aku ngerti kinan.. sudah jangan nangis lagi ya.. lebih kurangnya aku bisa memahami beban jiwamu nan.. kamu sudah sering menceritakan hal itu ke aku. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu adalah kehidupan rumah tangga mbakmu.. dan kamu tidak boleh mencampurinya..” santi mendekatiku dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

Aku tak bisa bicara lagi saat ini, aku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah tidak kuat untuk tidak menumpahkan semua yang kurasakan selama ini. Santi dengan sabar menenangkan aku.

Keputusanku untuk tinggal terpisah semakin bulat. Bukan karena aku egois, tapi aku juga memikirkan kondisi kejiwaanku jika aku terus menerus di rumah mbak arum dengan pertikaiannya hampir setiap hari. Akan tidak baik untuk perkembangan jiwaku. Aku tidak kuat melihat mas dika sebagai kepala rumah tangga di rumah itu memperlakukan mbak arum semena-mena. Sempat terpikir bagaimana dimas, bagaimana mbak arum. Bagaimana kondisi kejiwaan mereka jika sehari-hari dihadapkan oleh orang setengah waras itu. Hatiku sangat dilema. Namun apapun yang terjadi aku harus segera keluar dari rumah itu. Toh aku sudah berusaha untuk mengajak mbak arum pergi dari sana, hanya saja ia menolak dan tetap pada pendirianya untuk mempertahankan rumah tangganya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Apapun risikonya sudah kupertimbangkan. Aku harus pergi dari sana. Untuk urusan biaya hidup sehari-hari, aku bisa cari kerja. Jadi aku bisa kuliah sambil bekerja. Untuk sementara aku pinjam uang mbak arum dulu, nanti setelah aku mendapatkan pekerjaan akan kulunasi hutangku pada mbak arum.

Tentu tidak mudah mengambil keputusan seperti ini. Disisi lain aku sudah tidak tahan, tapi disisi lain aku juga masih memikirkan nasib mbak arum jika aku sudah tidak bersamanya. Aku sangat mengkhawatirkan mbak arum dan dimas keponakanku itu. Pernah teringat suatu ketika kusaksikan mbak arum nyaris pingsan karena mas dika memukulinya tidak kenal ampun. Ceritanya suatu ketika mas dika pulang kantor, mas dika pulang tepat jam 7 malam. Sebelumnya mereka berjanji untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-8 tahun. Saat itu mbak arum masih tertidur ketika mas dika pulang. Masih mengenakan daster harian pula. Tampaknya mbak arum kelelahan karena seharian ini mbak arum sibuk memasak untuk usaha cateringnya. Sementara aku yang membantu mengantarkan paket catering kepada konsumennya. 


Saat itu mas dika yang masih melihat mbak arum tergeletak di atas tempat tidur segera membangunkan mbak arum. Hingga akhirnya mbak arum terbangun. Ketika mbak arum bangun, mas dika langsung memarahinya tak kenal ampun. Mbak arum mencoba untuk menjelaskan kepada mas dika, namun saat itu mas dika sangat marah. Mas dika sangat benci jika setiap perkataannya dibantah, dan saat itu pula sebuah tinju mendarat tepat diwajah ayu mbak arum.


(Bersambung...)


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel