MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU (PART 3)
2015-06-12
Perhal Cinta, pasti tak menyakiti
“Mbak,
ayo ikut saja denganku” pintaku pada mbak arum ketika aku tiba di rumah.
Permintaanku yang mendadak ini membuat mbak arum bertanya-tanya.
“kamu
ini mau kemana toh dek...” tanyanya sambil menghentikan pekerjaannya melipat
pakaian yang telah kering setelah dijemur.
“aku
mau aku, mbak dan dimas hidup normal. Ndak seperti ini terus. Percayalah mbak..
kita pasti bisa hadapi ini bersama-sama. Tinggalkan mas dika.” Pintaku
meyakinkan mbak arum.
“dek,
kamu ini belum menikah. Kamu belum memahami artinya sebuah pernikahan. Mbak
bertahan karena mbak sayang dengan rumah tangga mbak. Biarlah mbak yang
tersakiti asalkan rumah tangga ini tetap utuh. Perceraian hanya akan
mengorbankan dimas dek,.. dan mbak ndak mau seperti itu. Cukup, biarkan mbak
yang menanggung semuanya.”
“mbak...
mbak jahat dengan diri mbak sendiri. Mbak ndak sayang dengan diri mbak. Mbak
egois terhadap diri mbak sendiri. Mbak ini cantik, baik, dan pintar. Kenapa
mbak mau-maunya jadi obyek begitu.. kalau dalam agama kita harus berbakti
kepada suami, lihat dulu mbak suaminya seperti apa. Mbak coba lihat dari awal
mbak menikah.. mbak ini lulusan peguruan tinggi, mbak punya keahlian dalam
berkarir. Tapi apa? Mas dika sudah membatasi mbak. Ngapain toh mbak sekolah
tinggi-tinggi tapi ilmunya gak dipraktekkan? Semua atas kehendak mas dika..
semuanya... kapan mbak bisa berkehendak toh??”
Mbak
arum hanya tertunduk, wajahnya sendu. Ada segurat mimik berat dalam wajahnya.
Ia menatapku dengan lembut. Tak kuduga air mata mbak arum menetes di pipinya
yang mulus.Tangisannya
diiringi oleh hujan yang mengguyur halaman depan rumah semakin lama semakin
deras.
“yasudah
mbak, jika mbak tetap ingin tinggal bersama mas Dika dan Dimas.. kinanti bisa
mengerti itu mbak. Tapi kinanti mohon diri, kinan ndak mau terus menerus
merepotkan mbak..” ucapanku mengalir begitu saja dari mulutku.
“kamu
mau kemana ti.. mbak ndak akan membiarkan kamu pergi. Mbak ndak akan membiarkan
kamu hidup sendiri... mbak sudah janji pada bapak dan ibu akan menjaga kamu dan
berusaha membiayai kamu sampai selesai kuliah. Sudah toh dek.. sudah.. tetaplah
tinggal.” Pinta mbak arum.
Aku
yang sudah kehilangan sabar dengan semua perlakuan mas dika pada saudariku ini,
tidak dapat menahan diri lagi untuk pergi. Aku berusaha meyakinkan mbak arum
jika aku dapat hidup mandiri. Aku dengan segala upayaku meyakinkannya jika aku
akan terbiasa bila dibiasakan untuk tinggal sendiri, tapi lagi-lagi permintaan
mbak arum membuatku luluh. Kulihat sosok perempuan dengan perangainya yang
lembut dan butuh perlindungan di hadapanku ini. Air mata dan isak tangisnya
meruntuhkan segala ketidak-tahananku selama ini. Aku luluh, aku runtuh. Dan
akhirnya aku tarik nafas panjang dan menyerah. Aku tidak bisa meninggalkan mbak
arum di rumah ini tanpaku.
Hmmmm....
dilematis batinku. Percuma bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mbak arum
tentang rumah tangganya yang tidak sehat. Sejatinya, hakikat cinta bukanlah
untuk saling menyakiti. Cinta tidak boleh saling tersakiti karena cinta pun
tidak bisa selamanya mengikat setiap individu dengan penuh. Komitmen yang
menyatukan satu individu dengan individu lainnya. Tetapi sangat naif sekali
jika satu individu atas nama cinta merasa berhak memiliki individu lainnya,
lalu berbuat semena-mena atas apa yang diyakini telah menjadi miliknya.
Bukankah setiap individu terlahir dengan kemerdekaannya sendiri? Fitrah yang
dimiliki setiap individu adalah kebebasan. Setiap individu bebas merdeka atas dirinya
sendiri. Sungguh tidak dibenarkan kurasa, cinta yang agung di kambinghitamkan
sebagai pengikat yang menjadikan seseorang memiliki dan berkuasa atas orang
lain. Itu yang kuyakini, itu pemahamanku. Dan ini yang menjadi 180 derajat berbeda
dengan pemahaman mbak arum.
“andai
kamu jadi mbak arum, apa yang akan kamu lakukan?” tiba-tiba pertanyaan mbak
arum membuyarkan lamunan panjangku.
“aku
akan pergi. Aku akan membuka lembaran baru mbak. Hidup itu terlalu sulit jika
dipersulit” jawabku singkat.
“berpikirkah
kamu, bagaimana kehidupan mbak nantinya setelah meninggalkan mas dika?
Bagaimana dengan dimas? Berpikirkah kamu bagaimana kehidupan kami nanti? Dimas
tidak hanya membutuhkan figur seorang ibu dalam hidupnya. Dimas membutuhkan
figur dan suport seorang ayah.
Sesempurna apapun kehidupan seseorang, selengkap apapun kasih sayang yang
didapatkan seorang anak tetap saja tidak akan lengkap jika salah satu dari
kedua orang tuanya tidak berada disisinya. Itu yang pertama. Lantas yang kedua,
terpikirkah kamu darimana mbak bisa membiayai kehidupan kami? Membiayai
kehidupan mbak dan dimas? Dimas butuh tempat tinggal, butuh sekolah yang layak,
butuh makan dan minum. Terpikirkah kamu dek bagaimana mbak mendapatkan itu
semua? Dengan melamar pekerjaan? Dengan ijazah perguruan tinggi yang mbak
miliki? Pertanyaannya sudah seusia mbak ini tapi minim pengalaman kerja karena
sebelumnya mbak tidak pernah bekerja, akankah ada perusahaan atau instansi yang
mau menerima? Sekarang ini sulit mencari pekerjaan dek. Terlebih lagi mbak
sudah memiliki anak. Akan semakin ditaruh di antrian paling belakang jika mbak
harus melamar kerja nanti.” Tutur mbak arum merespon jawabanku.
Saat itu aku
terdiam mendengarnya. Aku sulit berkata apa-apa lagi. Mungkinkah serumit itu?
Sungguh kasihan nasib perempuan seperti mbak arum. Ku rasa semua ini ada yang
salah. Ya, ada yang salah tentang semua ini. Miris batinku mendengar penuturan
mbak arum. Betapa kontrasnya perbedaan antara lelaki dan perempuan. Betapa akar
masalahnya begitu ruwet. Problematika hidup seorang perempuan benar-benar
sulit. Sesulit mengubah cara pikir orang-orang kebanyakan tentang bagaimana
harusnya genggam kuasa patriarki dilenyapkan. Ya. Genggaman kuasa patriarkilah
penyebabnya. Itulah aktor utamanya.
Ku
pikir masalah dimas hanyalah menjadi masalah turunan dari problem utama yakni
ekonomi. Problem ekonomi tersebut menjadi salah satu alasan kuat bertahannya
rumah tangga mereka sekalipun dalam keadaan tersulit atau bahkan ekonomi juga
yang menjadi salah satu penyebab kuat berakhirnya rumah tangga seseorang. Dalam
banyak kasus yang ku temui kandasnya biduk cinta dalam mahligai rumah tangga
beberapa orang adalah karena kondisi perekonomian yang sangat memadai. Kondisi
dimana si suami atau si istri memiliki penghasilan berlebih memungkinkan
diantara keduanya kurang harmonis. Faktor mengurus pekerjaan sebagai
penghasilan utama (work-holic)
sehingga tidak ada waktu untuk keluarga, atau mungkin faktor banyaknya harta
berlimpah sehingga memungkinkan salah satu pasangan untuk berselingkuh. Di beberapa
kasus kutemukan khususnya dalam kasus mbak arum, ekonomi menjadi salah satu
faktor kuat bertahannya rumah tangga mbak arum. Dengan alasan anak, membuat
mbak arum harus berpikir keras bagaimana kehidupannya dengan dimas di waktu
mendatang selepas berpisah dengan mas dika. Mbak arum tidak mampu menanggung
beban hidup yang semakin hari semakin bertambah. Dari waktu ke waktu dimas yang
makin banyak kebutuhannya juga dengan dirinya. Biaya sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan dan lain-lain membuat mbak arum harus berpikir ulang jika
harus berpisah dengan mas dika. Dalam usia seperti mbak arum saat ini yang
sudah menjajaki kepala tiga dan minim pengalaman bekerja membuatnya maju mundur
dalam menentukan sikap. Rasa cinta yang teramat dalam kepada anak membuatnya
harus berpikir keras bagaimana kehidupan mereka ke depan.
Miris. bertahan hanya
karena takut tidak makan, takut tak mampu memenuhi kebutuhannya dan buah
hatinya. Ya begitulah. Dalam hal ini aku sangat mengutuk pemiskinan terhadap
perempuan. Kasus yang dialami oleh mbak arum merupakan kasus pemiskinan
perempuan. Bagiku itu sangatlah tidak adil. Di sebagian besar masyarakat kebanyakan,
seorang perempuan ketika sudah menikah harus memilih dan bahkan dipilihkan
sebuah pilihan oleh suaminya. Harus bekerja menjadi wanita karir atau fokus
memilih rumah, atau bahkan diperbolehkan keduanya. Sekali lagi, bagiku itu
tidak adil. Mengapa demikian? Ya. Semua bersumber kepada restu suami. Sepintar
dan seluwes apapun seorang perempuan dalam ranah publik, tetapi jika suami tidak
mengijinkan ia berkecimpung ke dalamnya tentu saja hal itu tidak akan pernah
terjadi. Selalu ada kompromi. Benar sekali, walaupun dengan kompromi sekalipun
tetap perkataan suami adalah satu-satunya “Decision
making” diperbolehkan atau tidaknya seorang istri memiliki pekerjaan di
wilayah publik. Selesai. Kemudian, saat seorang perempuan tidak diberikan restu
untuk bekerja ke wilayah publik tentu saja suami telah memilihkan ruang
domestik sebagai tempat para perempuan berada. Begitupula saat suami mengijinkan
perempuan berkecimpung ke ruang publik, kebanyakan mereka juga menuntut untuk
tidak lupa tetap memperhatikan ruang domestiknya sehingga terjadilah beban
peran ganda. Sunggu ironis memang. Sementara tidak ada tuntutan bagi para suami
untuk seimbang dalam memperhatikan ruang publik maupun domestik. Baginya,
domestik adalah milik perempuan. Jadi, betapapun lihainya seorang perempuan di
ruang publik, tetap ruang domestik menjadi tanggung jawab utama. Kembali ke
persoalan pemiskinan terhadap perempuan, terpikirkan olehku betapa mbak arum
dimiskinkan secara sistemik oleh mas dika. Bagiku, perempuan harus mandiri
secara ekonomi. Bekerja adalah juga hak sadar seorang perempuan dalam
mengaktualisasikan dirinya, juga dalam menempa pengalaman hidupnya guna meningkatkan
perekonomiannya. Bukan karena merasa kurang dengan nafkah yang diberikan suami,
tetapi terpikirkah orang-orang yang beranggapan bahwa nafkah dari suami saja
cukup untuk disyukuri. Kita tidak tahu perjalanan hidup manusia. terkadang
manis, terkadang pahit. Terkadang beruntung, terkadang na’as. Andaikan seorang
suami terkena musibah seperti kecelakaan atau meninggal dunia sementara seorang
istri masih memiliki tanggungan berupa anak-anak yang masih harus sekolah dan
dipenuhi kebutuhannya, maka bagaimanakah ia memenuhi semua itu sedangkan ia
tidak bekerja ataupun memiliki penghasilan sendiri? Seperti contoh kasus mbak
arum. Betapa beratnya ia harus meninggalkan mas dika yang sudah tidak layak
dipertahankan lagi hanya dengan alasan anak? Pikirku bukan hanya anak tetapi
lebih pada kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Mbak arum sedari awal tidak
pernah menyentuh ruang publik dalam hal ini bekerja ataupun memiliki usaha
sendiri. Maka, akan sulit ketika ia mulai mencoba bekerja pada usia-usia
sepertinya sekarang. Terlebih ia tidak memiliki pengalaman pekerjaan apapun.
Hhhhmmmm.
Kepalaku terasa berat, rasanya aku ingin mencari udara segar keluar rumah.
“baiklah
mbak, kinan akan pikirkan, apakah kinan akan pergi atau tetap menemani mbak
disini. Akan kinan pikirkan kembali. Semua tentu saja karena mbak arum” ujarku
sambil membuang napas lelah.
Kulihat
ada sedikit senyum lega di bibir merah mbak arum. Nampaknya ia mulai lega
melihat adik semata wayangnya mengurungkan niatnya untuk pergi.
Written by Nasreen Ega
To be Continue.....