MENGGUGAT LEKUK TUBUHKU (PART 3)

Perhal Cinta, pasti tak menyakiti

“Mbak, ayo ikut saja denganku” pintaku pada mbak arum ketika aku tiba di rumah. Permintaanku yang mendadak ini membuat mbak arum bertanya-tanya.

“kamu ini mau kemana toh dek...” tanyanya sambil menghentikan pekerjaannya melipat pakaian yang telah kering setelah dijemur.

“aku mau aku, mbak dan dimas hidup normal. Ndak seperti ini terus. Percayalah mbak.. kita pasti bisa hadapi ini bersama-sama. Tinggalkan mas dika.” Pintaku meyakinkan mbak arum.

“dek, kamu ini belum menikah. Kamu belum memahami artinya sebuah pernikahan. Mbak bertahan karena mbak sayang dengan rumah tangga mbak. Biarlah mbak yang tersakiti asalkan rumah tangga ini tetap utuh. Perceraian hanya akan mengorbankan dimas dek,.. dan mbak ndak mau seperti itu. Cukup, biarkan mbak yang menanggung semuanya.”

“mbak... mbak jahat dengan diri mbak sendiri. Mbak ndak sayang dengan diri mbak. Mbak egois terhadap diri mbak sendiri. Mbak ini cantik, baik, dan pintar. Kenapa mbak mau-maunya jadi obyek begitu.. kalau dalam agama kita harus berbakti kepada suami, lihat dulu mbak suaminya seperti apa. Mbak coba lihat dari awal mbak menikah.. mbak ini lulusan peguruan tinggi, mbak punya keahlian dalam berkarir. Tapi apa? Mas dika sudah membatasi mbak. Ngapain toh mbak sekolah tinggi-tinggi tapi ilmunya gak dipraktekkan? Semua atas kehendak mas dika.. semuanya... kapan mbak bisa berkehendak toh??”

Mbak arum hanya tertunduk, wajahnya sendu. Ada segurat mimik berat dalam wajahnya. Ia menatapku dengan lembut. Tak kuduga air mata mbak arum menetes di pipinya yang mulus.Tangisannya diiringi oleh hujan yang mengguyur halaman depan rumah semakin lama semakin deras.

“yasudah mbak, jika mbak tetap ingin tinggal bersama mas Dika dan Dimas.. kinanti bisa mengerti itu mbak. Tapi kinanti mohon diri, kinan ndak mau terus menerus merepotkan mbak..” ucapanku mengalir begitu saja dari mulutku.

“kamu mau kemana ti.. mbak ndak akan membiarkan kamu pergi. Mbak ndak akan membiarkan kamu hidup sendiri... mbak sudah janji pada bapak dan ibu akan menjaga kamu dan berusaha membiayai kamu sampai selesai kuliah. Sudah toh dek.. sudah.. tetaplah tinggal.” Pinta mbak arum.

Aku yang sudah kehilangan sabar dengan semua perlakuan mas dika pada saudariku ini, tidak dapat menahan diri lagi untuk pergi. Aku berusaha meyakinkan mbak arum jika aku dapat hidup mandiri. Aku dengan segala upayaku meyakinkannya jika aku akan terbiasa bila dibiasakan untuk tinggal sendiri, tapi lagi-lagi permintaan mbak arum membuatku luluh. Kulihat sosok perempuan dengan perangainya yang lembut dan butuh perlindungan di hadapanku ini. Air mata dan isak tangisnya meruntuhkan segala ketidak-tahananku selama ini. Aku luluh, aku runtuh. Dan akhirnya aku tarik nafas panjang dan menyerah. Aku tidak bisa meninggalkan mbak arum di rumah ini tanpaku.

Hmmmm.... dilematis batinku. Percuma bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mbak arum tentang rumah tangganya yang tidak sehat. Sejatinya, hakikat cinta bukanlah untuk saling menyakiti. Cinta tidak boleh saling tersakiti karena cinta pun tidak bisa selamanya mengikat setiap individu dengan penuh. Komitmen yang menyatukan satu individu dengan individu lainnya. Tetapi sangat naif sekali jika satu individu atas nama cinta merasa berhak memiliki individu lainnya, lalu berbuat semena-mena atas apa yang diyakini telah menjadi miliknya. Bukankah setiap individu terlahir dengan kemerdekaannya sendiri? Fitrah yang dimiliki setiap individu adalah kebebasan. Setiap individu bebas merdeka atas dirinya sendiri. Sungguh tidak dibenarkan kurasa, cinta yang agung di kambinghitamkan sebagai pengikat yang menjadikan seseorang memiliki dan berkuasa atas orang lain. Itu yang kuyakini, itu pemahamanku. Dan ini yang menjadi 180 derajat berbeda dengan pemahaman mbak arum.

“andai kamu jadi mbak arum, apa yang akan kamu lakukan?” tiba-tiba pertanyaan mbak arum membuyarkan lamunan panjangku.

“aku akan pergi. Aku akan membuka lembaran baru mbak. Hidup itu terlalu sulit jika dipersulit” jawabku singkat.

“berpikirkah kamu, bagaimana kehidupan mbak nantinya setelah meninggalkan mas dika? Bagaimana dengan dimas? Berpikirkah kamu bagaimana kehidupan kami nanti? Dimas tidak hanya membutuhkan figur seorang ibu dalam hidupnya. Dimas membutuhkan figur dan suport seorang ayah. Sesempurna apapun kehidupan seseorang, selengkap apapun kasih sayang yang didapatkan seorang anak tetap saja tidak akan lengkap jika salah satu dari kedua orang tuanya tidak berada disisinya. Itu yang pertama. Lantas yang kedua, terpikirkah kamu darimana mbak bisa membiayai kehidupan kami? Membiayai kehidupan mbak dan dimas? Dimas butuh tempat tinggal, butuh sekolah yang layak, butuh makan dan minum. Terpikirkah kamu dek bagaimana mbak mendapatkan itu semua? Dengan melamar pekerjaan? Dengan ijazah perguruan tinggi yang mbak miliki? Pertanyaannya sudah seusia mbak ini tapi minim pengalaman kerja karena sebelumnya mbak tidak pernah bekerja, akankah ada perusahaan atau instansi yang mau menerima? Sekarang ini sulit mencari pekerjaan dek. Terlebih lagi mbak sudah memiliki anak. Akan semakin ditaruh di antrian paling belakang jika mbak harus melamar kerja nanti.” Tutur mbak arum merespon jawabanku. 

Saat itu aku terdiam mendengarnya. Aku sulit berkata apa-apa lagi. Mungkinkah serumit itu? Sungguh kasihan nasib perempuan seperti mbak arum. Ku rasa semua ini ada yang salah. Ya, ada yang salah tentang semua ini. Miris batinku mendengar penuturan mbak arum. Betapa kontrasnya perbedaan antara lelaki dan perempuan. Betapa akar masalahnya begitu ruwet. Problematika hidup seorang perempuan benar-benar sulit. Sesulit mengubah cara pikir orang-orang kebanyakan tentang bagaimana harusnya genggam kuasa patriarki dilenyapkan. Ya. Genggaman kuasa patriarkilah penyebabnya. Itulah aktor utamanya.

Ku pikir masalah dimas hanyalah menjadi masalah turunan dari problem utama yakni ekonomi. Problem ekonomi tersebut menjadi salah satu alasan kuat bertahannya rumah tangga mereka sekalipun dalam keadaan tersulit atau bahkan ekonomi juga yang menjadi salah satu penyebab kuat berakhirnya rumah tangga seseorang. Dalam banyak kasus yang ku temui kandasnya biduk cinta dalam mahligai rumah tangga beberapa orang adalah karena kondisi perekonomian yang sangat memadai. Kondisi dimana si suami atau si istri memiliki penghasilan berlebih memungkinkan diantara keduanya kurang harmonis. Faktor mengurus pekerjaan sebagai penghasilan utama (work-holic) sehingga tidak ada waktu untuk keluarga, atau mungkin faktor banyaknya harta berlimpah sehingga memungkinkan salah satu pasangan untuk berselingkuh. Di beberapa kasus kutemukan khususnya dalam kasus mbak arum, ekonomi menjadi salah satu faktor kuat bertahannya rumah tangga mbak arum. Dengan alasan anak, membuat mbak arum harus berpikir keras bagaimana kehidupannya dengan dimas di waktu mendatang selepas berpisah dengan mas dika. Mbak arum tidak mampu menanggung beban hidup yang semakin hari semakin bertambah. Dari waktu ke waktu dimas yang makin banyak kebutuhannya juga dengan dirinya. Biaya sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain membuat mbak arum harus berpikir ulang jika harus berpisah dengan mas dika. Dalam usia seperti mbak arum saat ini yang sudah menjajaki kepala tiga dan minim pengalaman bekerja membuatnya maju mundur dalam menentukan sikap. Rasa cinta yang teramat dalam kepada anak membuatnya harus berpikir keras bagaimana kehidupan mereka ke depan. 

Miris. bertahan hanya karena takut tidak makan, takut tak mampu memenuhi kebutuhannya dan buah hatinya. Ya begitulah. Dalam hal ini aku sangat mengutuk pemiskinan terhadap perempuan. Kasus yang dialami oleh mbak arum merupakan kasus pemiskinan perempuan. Bagiku itu sangatlah tidak adil. Di sebagian besar masyarakat kebanyakan, seorang perempuan ketika sudah menikah harus memilih dan bahkan dipilihkan sebuah pilihan oleh suaminya. Harus bekerja menjadi wanita karir atau fokus memilih rumah, atau bahkan diperbolehkan keduanya. Sekali lagi, bagiku itu tidak adil. Mengapa demikian? Ya. Semua bersumber kepada restu suami. Sepintar dan seluwes apapun seorang perempuan dalam ranah publik, tetapi jika suami tidak mengijinkan ia berkecimpung ke dalamnya tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi. Selalu ada kompromi. Benar sekali, walaupun dengan kompromi sekalipun tetap perkataan suami adalah satu-satunya “Decision making” diperbolehkan atau tidaknya seorang istri memiliki pekerjaan di wilayah publik. Selesai. Kemudian, saat seorang perempuan tidak diberikan restu untuk bekerja ke wilayah publik tentu saja suami telah memilihkan ruang domestik sebagai tempat para perempuan berada. Begitupula saat suami mengijinkan perempuan berkecimpung ke ruang publik, kebanyakan mereka juga menuntut untuk tidak lupa tetap memperhatikan ruang domestiknya sehingga terjadilah beban peran ganda. Sunggu ironis memang. Sementara tidak ada tuntutan bagi para suami untuk seimbang dalam memperhatikan ruang publik maupun domestik. Baginya, domestik adalah milik perempuan. Jadi, betapapun lihainya seorang perempuan di ruang publik, tetap ruang domestik menjadi tanggung jawab utama. Kembali ke persoalan pemiskinan terhadap perempuan, terpikirkan olehku betapa mbak arum dimiskinkan secara sistemik oleh mas dika. Bagiku, perempuan harus mandiri secara ekonomi. Bekerja adalah juga hak sadar seorang perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya, juga dalam menempa pengalaman hidupnya guna meningkatkan perekonomiannya. Bukan karena merasa kurang dengan nafkah yang diberikan suami, tetapi terpikirkah orang-orang yang beranggapan bahwa nafkah dari suami saja cukup untuk disyukuri. Kita tidak tahu perjalanan hidup manusia. terkadang manis, terkadang pahit. Terkadang beruntung, terkadang na’as. Andaikan seorang suami terkena musibah seperti kecelakaan atau meninggal dunia sementara seorang istri masih memiliki tanggungan berupa anak-anak yang masih harus sekolah dan dipenuhi kebutuhannya, maka bagaimanakah ia memenuhi semua itu sedangkan ia tidak bekerja ataupun memiliki penghasilan sendiri? Seperti contoh kasus mbak arum. Betapa beratnya ia harus meninggalkan mas dika yang sudah tidak layak dipertahankan lagi hanya dengan alasan anak? Pikirku bukan hanya anak tetapi lebih pada kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Mbak arum sedari awal tidak pernah menyentuh ruang publik dalam hal ini bekerja ataupun memiliki usaha sendiri. Maka, akan sulit ketika ia mulai mencoba bekerja pada usia-usia sepertinya sekarang. Terlebih ia tidak memiliki pengalaman pekerjaan apapun.

Hhhhmmmm. Kepalaku terasa berat, rasanya aku ingin mencari udara segar keluar rumah.

“baiklah mbak, kinan akan pikirkan, apakah kinan akan pergi atau tetap menemani mbak disini. Akan kinan pikirkan kembali. Semua tentu saja karena mbak arum” ujarku sambil membuang napas lelah.


Kulihat ada sedikit senyum lega di bibir merah mbak arum. Nampaknya ia mulai lega melihat adik semata wayangnya mengurungkan niatnya untuk pergi.


Written by Nasreen Ega
To be Continue.....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel