ELEVA
2015-07-05
Oleh : Nasreen Ega
Taukah kamu, saat ku buka tirai merah
muda dan ku buka kaca jendela kamar, kurasakan udara, embun, dedaunan, kicau
burung, bunyi tetesan air, dan matahari pagi di kota yang baru amat begitu
asing. Tempat baru dan lingkungan baru tak terkecuali peluk hangat dari seseorang
yang baru. Seseorang yang baru tiga bulan kukenal dekat. Seseorang yang dengan
gilanya mampu menerima segala kurang dan memiliki niat yang menurutku hanya ada
di negeri dongeng. Niat mulia untuk dapat membahagiakanku dengan segala jerih
upayanya. Seseorang yang entah memiliki akal sehat atau tidak. Seseorang yang
kala itu mampu menarik-ku keluar dari kubangan lumpur dan sampah. Seseorang
yang entah hingga saat ini dapat kubalas kegilaan cintanya terhadapku atau
tidak. Seseorang itu adalah suamiku. Suami yang baru saja kunikahi beberapa
bulan lalu. Suami yang atas nama kesucian Tuhan kami dipertalikan. Dialah lelaki yang akan membuka permulaan
kisahku, dia pula yang akan menutup akhir dari kisahku dengan
pemahaman-pemahaman yang kutemukan darinya.
Aku gadis sebatang kara. Tak memiliki
keluarga, tak pula memiliki harta berlimpah. Cukuplah aku memiliki diriku
sendiri. Diri yang sebatang kara. Eleva
adalah namaku. orang-orang memanggilku leva. Aku tinggal sendiri jauh di tanah
perantauan orang. Di kampung halaman, hanya ada seorang nenek yang selalu
mengirimiku do’a dan alfatihah di penghujung sholatnya. Ayah ibuku telah tiada
sejak aku berusia 13 tahun. Saat itulah aku diasuh oleh nenekku yang seorang
janda miskin di kampung halaman. Kini aku di tanah rantau. Tujuanku satu, berjuang
untuk membahagiakan nenek. Namun apalah daya, aku terjebak dalam satu kondisi
dimana seluruhnya dari diriku telah hancur, rusak dan hangus. Namun disitulah
awal permulaan semuanya terjadi.
Di tanah rantau, tepat di jantungnya
ibu kota yang amat begitu kejam, aku bekerja sebagai seorang pelayan restoran.
Aku bekerja dari pagi hingga larut. Pekerjaanku sangat banyak, dari
mengantarkan makanan dan minuman kepada para pelanggan, hingga mencuci piring
dan menyiapkan menu pesanan pelanggan. Namun tidak hanya itu yang kukerjakan.
Tujuan utamaku adalah berjuang untuk nenek. Untuk kebahagiaannya, namun aku
yakin untuk dapat memberikan kebahagiaan untuknya, aku harus terlebih dahulu
memperjuangkan diriku. Ku kumpulkan semangat dan cita-citaku. Ku mulai babak
baru. Aku bukan lagi hanya menjadi seorang pelayan restoran. Tetapi kini aku
juga seorang mahasiswa. kudaftarkan diriku untuk berkuliah di sela-sela hari
kosong di tempat kerjaku. Dan disitulah semuanya dimulai.
Singkat cerita, di kampusku aku
memiliki seorang kekasih yang telah setahun setengah menemani hari-hariku,
menyelamatkanku dari kesendirian . kekasih yang dengannya aku mampu berbagi
kasih dan cinta. Kekasih yang membuat hidupku menjadi sempurna. Namun tak seperti
layaknya kisah-kisah di dongeng. Ada sisi terburuk dari kesempurnaan hubungan
yang ku bangun itu. Pada tahun kedua, Arya kekasihku itu amat terkejut
mendengar kabar dariku. Ketika kutunjukan benda pipih panjang yang menunjukan
garis indikator kehamilan. Mukanya berubah merah. Bingung dan ketakutan kulihat
dari sorot matanya yang tajam. “gugurkan.. kita belum siap berumah tangga. Kamu
belum mampu menjadi seorang perempuan yang pantas untuk kuperjuangkan”. Aku
nyaris tak percaya mendengarnya. Spontan wajahku memucat. “aku tak pantas
diperjuangkan? Mengapa?” tanyaku masih dalam nada tak percaya. “kamu masih
belum memenuhi kriteria seorang istri menurutku. Sangat jauh. Aku berpikir jika
memang sulit, ya hubungan ini hanya sebatas senang-senang saja. Keluargaku pun
aku tak tau setuju atau tidak jika kita menikah.” Spontan air mataku membasahi
kedua pipiku dengan derasnya. Hatiku baru saja terluka. Ada semacam pisau tajam
yan menusuk dalam dan menggores-gores hatiku, hingga berdarah. Hingga darahnya
mengalir tanpa mau berhenti. Seketika duniaku berhenti berputar. “bukankah kamu
telah berjanji akan berjuang bersama? Bukankah kamu berjanji bahwa kita akan
menikah lalu hidup bahagia? Bukankah sebulan lalu saat kata-kata manismu
menghujani hatiku, kita berjanji untuk memilih ini semua? Perbuatan yang kita
lakukan dan akan kita tanggung konsekuensinya bersama? Dimana semua itu?” aku
menangis sejadi-jadinya. Ia memelukku. Meraih tubuhku. Membelai rambutku.
Tangisku tumpah dipeluknya. “sayang, kita harus sadari bahwa kenyataan tak
selamanya berbanding lurus dengan apa yang telah kita mimpikan. Realitas tak
akan pernah sama dengan mimpi-mimpi kita. Kita harus terima itu. Aku miliki
orang tua. Bagaimana jika mereka mendengarnya? Aku memiliki keluarga besar,
bagaimana jika mereka mengetahuinya? Aku masih memiliki masa depan yang belum
ku raih satu persatu. Sayang.. aku yakin kita pasti bisa melewati ini. Kamu
pasti bisa” ujarnya dengan suara bergetar. “aku takut, aku takut sekali..”
tangisku masih dalam peluknya. “tidak perlu takut sayang ada aku” ujarnya
menenangkan.
Akhirnya, dua hari kemudian setelah
terjadi tawar menawar kehidupan seseorang tibalah pada masa dimana garis
eliminasi menyingkirkan denyut hidup bayi mungil berbentuk janin yang ada di
dalam rahimku. Sakit memenuhi sekujur tubuhku. Ketika kurasakan sesuatu yang
memisahkan tali kehidupan antara aku dan bayiku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Perih, sakit semua berkumpul menjadi satu. Tak terkecuali sakit yang sedang
terjadi di dalam hatiku. Kurasakan darah kental mengalir deras dari dalam
rahimku membanjiri tempat pemisahan itu. Aku telah mengantarkan bayiku
dipersimpangan garis eliminasi. Ia tereliminasi dari dunia ini. Menyedihkan.
Air mataku makin deras dan tak tertahankan lagi. Kepalaku terasa berkunang kunang.
Aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya buram. Aku tak sadarkan diri.
Kepalaku terasa berat dan sakit,
kubuka mataku perlahan. Sambil meringis dan memegangi kepalaku, kudapati diriku
di sebuah kamar yang tak asing. Dinding berwarna biru dengan bentuk persegi.
Kamar berukuran 2x3m. Kuperhatikan meja, lemari pakaian dan kasur yang kutiduri
lengkap dengan selimutnya. Ini kamar kosanku. Aku telah kembali kesini. Tapi
bagaimana caranya aku ke tempat ini? Ku tarik tubuhku dan kurebahkan untuk
bersandar pada besi ranjang. Kembali kupegangi kepalaku yang masih terasa sakit
dan berat. Kupanggil arya, mungkin aku dibawanya kesini. “arya..” panggilku
lirih. Mungkin ia di kamar mandi, ku panggil lagi berkali-kali. Tidak ada
sahutan. Ku tunggu ia. Sekali lagi
pikirku, mungkin sedang di kamar mandi. Aku tidak bisa berjalan ke arah kamar
mandi karena area perut ke bawahku masih sakit. Kutunggu beberapa menit, lalu
kupanggil kembali. Hingga satu jam aku menunggu, berharap ia keluar dari kamar
mandi. Ternyata ia tak juga menyahut. Seketika tubuhku melemas. Kutengok ke
meja dekat dengan ranjangku. Ada amplop berwarna coklat. Kuraih amplop itu dan
kubuka isinya. Ternyata isinya adalah uang. Kuhitung jumlahnya, semua berjumlah
tiga juta rupiah. Kututup kembali amplop itu. Kuambil bantal yang menopang
tubuhku, ku lemparkan hingga mengenai meja dan isi di atas meja berantakan. Ku
tarik selimut kuhempaskan ke lantai, lalu ku pukul-pukul rahimku. Rahim yang
baru saja menjadi saksi betapa tidak adanya cinta dalam dunia ini. Cinta hanyalah
kisah indah yang terdapat di dalam negeri dongeng. Kupukul-pukul terus rahimku.
Sambil aku menangis menahan segalanya. Menahan emosiku yang bercampur baur. Aku
teriak sekencang-kencangnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kuhabiskan sisa hisapan batang rokok
terakhirku sebelum akhirnya aku memulai permainan. Kulihat lelaki hidung belang
di depanku ini sudah sangat mabuk kepayang melihatku. Kulihat matanya menatap
buas ke arahku. Melihat sinyal itu, segera kubaringkan tubuh mulusku ke atas
kasur hotel yang mewah itu. Aku berbaring disampingnya. Menunggu tubuhku
dilahap buas olehnya. Benar saja. Dalam hati aku menghitung. Satu.. dua..
tiga.. empat.. dan begitulah setiap kali aku membuang rasa jemuku melayani tamu
yang mengajakku berkencan. Setelah selesai semua, aku menerima amplop berisikan
uang dua juta rupiah. Aku menerimanya, lalu aku pergi.
Ini babak kelanjutan dari hidupku.
Setelah aku mulai menyadari bahwa kata-kata arya ada benarnya juga bahwa
realitas terkadang tak berbanding lurus dengan mimpi kita. Kehidupn indah itu
hanya ada di dalam negeri dongeng. Dimana kehidupan ideal itulah yang selalu
dimimipikan oleh setiap gadis. Hidup bahagia dengan pangeran berkuda
selama-lamanya. Hidup penuh cinta tanpa ada air mata. BULSHIT!!! Semenjak kejadian petaka itu, aku mulai mengubur seluruh
impian dan angan-angan. Mulai kukemas dengan semua fokus dan tujuan yang baru.
Kupikir, tak ada gunanya menyesali semua yang telah terjadi. Sekarang,
bagaimana caranya aku dapat hidup senang tanpa kekurangan apapaun. Maka
kulacurkan diriku. Tak masalah bagiku. Ragaku juga sudah rusak
berkeping-keping. Tak ada salahnya lagi. Toh
kini hidupku sangatlah berkecukupan, bahkan lebih daripada itu. Dengan tarif
yang kupasang sekitar 2 juta hingga 5 juta semalam maka tuntaslah sudah
kebutuhan materilku.
“Leva” seseorang lelaki memanggilku
ketika berpapasan denganku di depan pintu masuk seubuah supermarket. “Riki ya?”
tanyaku ragu. “iya va.. ini aku riki, teman kuliahmu dulu. Kamu kemana aja?”
ujarnya senang lalu menjabat tanganku. Riki adalah teman kuliahku dulu. Kudengar
kabar bahwa ia pernah diam-diam menyukaiku. Beberapa teman menjodoh-jodohkan
aku dengannya. Namun aku memilih Arya. Lagipula, Riki adalah seorang lelaki
yang sangat baik dan taat beragama, juga dari keluarga terpandang maka kupikir
sangat tidak pantas jika aku menyambut perasaannya. Akan tidak sebanding jika
aku jadi dengannya.
Akhirnya dari pertemuan itu, kami
jadi sering bertemu. Selepas Riki pulang kantor kami pasti menghabiskan waktu
bersama. Terkecuali saat aku sedang berkencan melayani tamu. Semakin hari
hubungan kami semakin dekat saja. Riki sangat menghargaiku begitupun denganku.
Aku melihat ketulusan dari diri riki. Menurutku riki adalah pribadi yang unik.
Jarang kudapati seorang pemuda yang disela waktunya ketika sedang bersamaku
dengan berbagai aktifitas. Entah ketika kami sedang pergi menonton, pergi karaoke
atau sekedar jalan-jalan saja, ia menyempatkan diri untuk sholat lima waktu. Ia
juga sangat santun dalam bersikap. Jujur, aku terkesan olehnya. Namun tidak
untuk berpikir memiliki hubungan yang lebih lanjut. Aku sadar diri aku siapa
dan apa profesiku. Yang aku yakin jika riki mengetahui semua tentangku, ia akan
balik badan dan menjauh dariku.
“Leva, boleh aku jujur padamu?”
pertanyaan riki membuyarkan lamunanku ketika kami selesai makan di sebuah
restoran dekat dengan kantor riki. “ ya tentu aja dong.. jujur aja..” ujarku
mempersilahkan riki. “aku sudah lama mencintai kamu va.. sejak kamu sudah tidak
pernah aktif kuliah lagi, aku merasa kehilangan kamu.. hingga saat pertemuan
tak terduga kita di supermarket itu, aku merasa ini adalah jalan Tuhan.. aku ga
mau menyia-nyiakan kesempatan ini va.. aku mau mengajak kamu membangun rumah
tangga bersamaku.” Penuturan riki membuatku terkejut. “riki, kamu gak tau siapa
aku, bagaimana masa laluku. Kamu akan menyesal” ucapku mengalir begitu saja.
“tidak ada yang harus aku sesali va.. aku mencintai kamu tulus. Biarkan masa
lalumu menjadi milikmu. Bagaimanapun pahitnya masa lalumu, masa depanmu masih
suci. Aku percaya itu. Aku berharap kamu bersedia menjadi istriku.” Ucap riki
lirih sambil mengeluarkan kotak cincin dari saku bajunya. Riki mengeluarkan cincin
itu dan memasangkannya di jari manisku. Seketika itu aku sangat terharu, aku
merasa ada bahagia yang memasuki dan memenuhi sesak seluruh isi dadaku.
Ohh.. entahlah, apakah aku harus
berterus terang padanya tentang siapa aku sebenarnya. Atau kututup rapat saja
semuanya. Yang jelas saat ini aku sedang bahagia. Aku merasakan perasaan yang
tidak pernah kurasakan sebelumnya. Dulu, saat aku berharap arya yang akan memintaku untuk
menikah dengannya namun tidak pernah terjadi. Malah segalanya ditukar dengan
berlembar-lembar uang. Kupikir bahwa dulu tidak ada cinta. Cinta hanyalah
karangan semu imajinasi manusia. tapi saat ini, di hadapanku ada seorang lelaki
yang meminta aku menjadi pendampingnya. Disaat kurasakan bahwa aku adalah
manusia yang tidak memiliki harapan dan masa depan lagi. Serius... dadaku
sangat sesak dipenuhi oleh bahagia.
Sungguh, setelah peristiwa
menakjubkan itu aku berpikir untuk melupakan semua masa laluku dan meninggalkan
seluruh masa kelam hidupku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan
meninggalkan profesiku dan aku berjanji pada diriku akan menjadi istri yang
baik untuk riki. Akan kubalas cintanya dengan sebaik-baiknya. Aku sungguh bahagia.
Hingga tiba di saat yang telah riki rencanakan, aku akan bertemu dengan kedua
orang tua riki. Saat itu aku merasa sangat gugup bercampur bahagia yang tak
terhingga. Jantung seakan mau copot rasanya, namun riki selalu meyakinkanku
untuk tetap tenang. Sore itu riki
menjemputku dengan mobilnya. Aku yang sudah siap segera mendatanginya ke depan
rumahku dan segera naik ke mobil. Setelah aku berada di mobilnya, riki
memandangku dan memberikan kecupan di kening. “kamu sudah siap sayang?”
tanyanya. “aku sedikit gugup sih..”jawabku. “gak perlu gugup sayang, kamu
tenang aja.. everything will be ok..” ucapnya meyakinkan. Akupun menarik napas
dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku mulai merasa tenang.
Empat puluh lima menit perjalanan
dari rumahku menuju rumah riki. Tak terasa kami telah sampai di depan pagar
rumahnya. Aku segera turun ketika riki memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Riki
menggandengku menuju pintu rumahnya. Ketika pintunya dibuka ternyata mami riki
telah berdiri menyambut kedatangan kami. Sesosok perempuan setengah baya yang
masih terlihat cantik dan segar itu tersenyum dan menyapaku dengan ramah. Aku segera
mencium tangannya. Sekali lagi, dadaku sesak karena bahagia. Ternyata aku
diterima dengan sambutan yang hangat. Mami riki akhirnya membimbing kami berdua
untuk menuju ruang makan karena papi riki telah menunggu kami untuk makan
bersama. Ketika kami tiba di ruang makan, aku segera duduk di kursi yang telah
dipersiapkan. Segala macam makanan tersedia di meja besar dan tersusun sangat
rapi dan cantik. “mi, papi mana?” riki bertanya pada maminya. “iya, sebentar
lagi juga turun sayang.. tadi katanya papi habis mandi.” jawab mami
singkat. Tidak begitu lama kemudian
sesosok lelaki setengah baya menuruni anak tangga menuju ruang makan tempat
kami bertiga mengobrol. Ketika lelaki itu mendekat aku serasa mengenali lelaki
itu. Lelaki itu menatapku lekat ketika akhirnya kami mulai berjabat tangan. Wajahku
seketika memucat. Aku mengenali lelaki itu. Garis wajahnya, tangan kekarnya,
perawakannya. Aku mengenalinya. Lelaki itu adalah salah satu pelangganku. Pelanggan
setiaku. Lelaki hidung belang yang setiap minggunya pasti memanggil diriku
untuk menuntaskan nafsu binatangnya. Lelaki hidung belang itu adalah papi riki.
Telapak tanganku berubah menjadi amat dingin. Tubuhku bergetar, dan wajahku
semakin pucat saja. Tiba-tiba kepalaku sakit, aku memandang sekelilingku degan
pandangan buram. Ternyata lelaki itu adalah... ahhh.... dunia kembali berhenti
berputar, dan mataku mulai berkunang-kunang. Aku tak sadarkan diri.
Bersambung....