ELEVA

Oleh : Nasreen Ega

Taukah kamu, saat ku buka tirai merah muda dan ku buka kaca jendela kamar, kurasakan udara, embun, dedaunan, kicau burung, bunyi tetesan air, dan matahari pagi di kota yang baru amat begitu asing. Tempat baru dan lingkungan baru tak terkecuali peluk hangat dari seseorang yang baru. Seseorang yang baru tiga bulan kukenal dekat. Seseorang yang dengan gilanya mampu menerima segala kurang dan memiliki niat yang menurutku hanya ada di negeri dongeng. Niat mulia untuk dapat membahagiakanku dengan segala jerih upayanya. Seseorang yang entah memiliki akal sehat atau tidak. Seseorang yang kala itu mampu menarik-ku keluar dari kubangan lumpur dan sampah. Seseorang yang entah hingga saat ini dapat kubalas kegilaan cintanya terhadapku atau tidak. Seseorang itu adalah suamiku. Suami yang baru saja kunikahi beberapa bulan lalu. Suami yang atas nama kesucian Tuhan kami dipertalikan.  Dialah lelaki yang akan membuka permulaan kisahku, dia pula yang akan menutup akhir dari kisahku dengan pemahaman-pemahaman yang kutemukan darinya.

Aku gadis sebatang kara. Tak memiliki keluarga, tak pula memiliki harta berlimpah. Cukuplah aku memiliki diriku sendiri. Diri yang sebatang kara.  Eleva adalah namaku. orang-orang memanggilku leva. Aku tinggal sendiri jauh di tanah perantauan orang. Di kampung halaman, hanya ada seorang nenek yang selalu mengirimiku do’a dan alfatihah di penghujung sholatnya. Ayah ibuku telah tiada sejak aku berusia 13 tahun. Saat itulah aku diasuh oleh nenekku yang seorang janda miskin di kampung halaman. Kini aku di tanah rantau. Tujuanku satu, berjuang untuk membahagiakan nenek. Namun apalah daya, aku terjebak dalam satu kondisi dimana seluruhnya dari diriku telah hancur, rusak dan hangus. Namun disitulah awal permulaan semuanya terjadi.

Di tanah rantau, tepat di jantungnya ibu kota yang amat begitu kejam, aku bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Aku bekerja dari pagi hingga larut. Pekerjaanku sangat banyak, dari mengantarkan makanan dan minuman kepada para pelanggan, hingga mencuci piring dan menyiapkan menu pesanan pelanggan. Namun tidak hanya itu yang kukerjakan. Tujuan utamaku adalah berjuang untuk nenek. Untuk kebahagiaannya, namun aku yakin untuk dapat memberikan kebahagiaan untuknya, aku harus terlebih dahulu memperjuangkan diriku. Ku kumpulkan semangat dan cita-citaku. Ku mulai babak baru. Aku bukan lagi hanya menjadi seorang pelayan restoran. Tetapi kini aku juga seorang mahasiswa. kudaftarkan diriku untuk berkuliah di sela-sela hari kosong di tempat kerjaku. Dan disitulah semuanya dimulai.

Singkat cerita, di kampusku aku memiliki seorang kekasih yang telah setahun setengah menemani hari-hariku, menyelamatkanku dari kesendirian . kekasih yang dengannya aku mampu berbagi kasih dan cinta. Kekasih yang membuat hidupku menjadi sempurna. Namun tak seperti layaknya kisah-kisah di dongeng. Ada sisi terburuk dari kesempurnaan hubungan yang ku bangun itu. Pada tahun kedua, Arya kekasihku itu amat terkejut mendengar kabar dariku. Ketika kutunjukan benda pipih panjang yang menunjukan garis indikator kehamilan. Mukanya berubah merah. Bingung dan ketakutan kulihat dari sorot matanya yang tajam. “gugurkan.. kita belum siap berumah tangga. Kamu belum mampu menjadi seorang perempuan yang pantas untuk kuperjuangkan”. Aku nyaris tak percaya mendengarnya. Spontan wajahku memucat. “aku tak pantas diperjuangkan? Mengapa?” tanyaku masih dalam nada tak percaya. “kamu masih belum memenuhi kriteria seorang istri menurutku. Sangat jauh. Aku berpikir jika memang sulit, ya hubungan ini hanya sebatas senang-senang saja. Keluargaku pun aku tak tau setuju atau tidak jika kita menikah.” Spontan air mataku membasahi kedua pipiku dengan derasnya. Hatiku baru saja terluka. Ada semacam pisau tajam yan menusuk dalam dan menggores-gores hatiku, hingga berdarah. Hingga darahnya mengalir tanpa mau berhenti. Seketika duniaku berhenti berputar. “bukankah kamu telah berjanji akan berjuang bersama? Bukankah kamu berjanji bahwa kita akan menikah lalu hidup bahagia? Bukankah sebulan lalu saat kata-kata manismu menghujani hatiku, kita berjanji untuk memilih ini semua? Perbuatan yang kita lakukan dan akan kita tanggung konsekuensinya bersama? Dimana semua itu?” aku menangis sejadi-jadinya. Ia memelukku. Meraih tubuhku. Membelai rambutku. Tangisku tumpah dipeluknya. “sayang, kita harus sadari bahwa kenyataan tak selamanya berbanding lurus dengan apa yang telah kita mimpikan. Realitas tak akan pernah sama dengan mimpi-mimpi kita. Kita harus terima itu. Aku miliki orang tua. Bagaimana jika mereka mendengarnya? Aku memiliki keluarga besar, bagaimana jika mereka mengetahuinya? Aku masih memiliki masa depan yang belum ku raih satu persatu. Sayang.. aku yakin kita pasti bisa melewati ini. Kamu pasti bisa” ujarnya dengan suara bergetar. “aku takut, aku takut sekali..” tangisku masih dalam peluknya. “tidak perlu takut sayang ada aku” ujarnya menenangkan.

Akhirnya, dua hari kemudian setelah terjadi tawar menawar kehidupan seseorang tibalah pada masa dimana garis eliminasi menyingkirkan denyut hidup bayi mungil berbentuk janin yang ada di dalam rahimku. Sakit memenuhi sekujur tubuhku. Ketika kurasakan sesuatu yang memisahkan tali kehidupan antara aku dan bayiku. Aku menangis sejadi-jadinya. Perih, sakit semua berkumpul menjadi satu. Tak terkecuali sakit yang sedang terjadi di dalam hatiku. Kurasakan darah kental mengalir deras dari dalam rahimku membanjiri tempat pemisahan itu. Aku telah mengantarkan bayiku dipersimpangan garis eliminasi. Ia tereliminasi dari dunia ini. Menyedihkan. Air mataku makin deras dan tak tertahankan lagi. Kepalaku terasa berkunang kunang. Aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya buram. Aku tak sadarkan diri.

Kepalaku terasa berat dan sakit, kubuka mataku perlahan. Sambil meringis dan memegangi kepalaku, kudapati diriku di sebuah kamar yang tak asing. Dinding berwarna biru dengan bentuk persegi. Kamar berukuran 2x3m. Kuperhatikan meja, lemari pakaian dan kasur yang kutiduri lengkap dengan selimutnya. Ini kamar kosanku. Aku telah kembali kesini. Tapi bagaimana caranya aku ke tempat ini? Ku tarik tubuhku dan kurebahkan untuk bersandar pada besi ranjang. Kembali kupegangi kepalaku yang masih terasa sakit dan berat. Kupanggil arya, mungkin aku dibawanya kesini. “arya..” panggilku lirih. Mungkin ia di kamar mandi, ku panggil lagi berkali-kali. Tidak ada sahutan. Ku tunggu ia.  Sekali lagi pikirku, mungkin sedang di kamar mandi. Aku tidak bisa berjalan ke arah kamar mandi karena area perut ke bawahku masih sakit. Kutunggu beberapa menit, lalu kupanggil kembali. Hingga satu jam aku menunggu, berharap ia keluar dari kamar mandi. Ternyata ia tak juga menyahut. Seketika tubuhku melemas. Kutengok ke meja dekat dengan ranjangku. Ada amplop berwarna coklat. Kuraih amplop itu dan kubuka isinya. Ternyata isinya adalah uang. Kuhitung jumlahnya, semua berjumlah tiga juta rupiah. Kututup kembali amplop itu. Kuambil bantal yang menopang tubuhku, ku lemparkan hingga mengenai meja dan isi di atas meja berantakan. Ku tarik selimut kuhempaskan ke lantai, lalu ku pukul-pukul rahimku. Rahim yang baru saja menjadi saksi betapa tidak adanya cinta dalam dunia ini. Cinta hanyalah kisah indah yang terdapat di dalam negeri dongeng. Kupukul-pukul terus rahimku. Sambil aku menangis menahan segalanya. Menahan emosiku yang bercampur baur. Aku teriak sekencang-kencangnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kuhabiskan sisa hisapan batang rokok terakhirku sebelum akhirnya aku memulai permainan. Kulihat lelaki hidung belang di depanku ini sudah sangat mabuk kepayang melihatku. Kulihat matanya menatap buas ke arahku. Melihat sinyal itu, segera kubaringkan tubuh mulusku ke atas kasur hotel yang mewah itu. Aku berbaring disampingnya. Menunggu tubuhku dilahap buas olehnya. Benar saja. Dalam hati aku menghitung. Satu.. dua.. tiga.. empat.. dan begitulah setiap kali aku membuang rasa jemuku melayani tamu yang mengajakku berkencan. Setelah selesai semua, aku menerima amplop berisikan uang dua juta rupiah. Aku menerimanya, lalu aku pergi.

Ini babak kelanjutan dari hidupku. Setelah aku mulai menyadari bahwa kata-kata arya ada benarnya juga bahwa realitas terkadang tak berbanding lurus dengan mimpi kita. Kehidupn indah itu hanya ada di dalam negeri dongeng. Dimana kehidupan ideal itulah yang selalu dimimipikan oleh setiap gadis. Hidup bahagia dengan pangeran berkuda selama-lamanya. Hidup penuh cinta tanpa ada air mata. BULSHIT!!! Semenjak kejadian petaka itu, aku mulai mengubur seluruh impian dan angan-angan. Mulai kukemas dengan semua fokus dan tujuan yang baru. Kupikir, tak ada gunanya menyesali semua yang telah terjadi. Sekarang, bagaimana caranya aku dapat hidup senang tanpa kekurangan apapaun. Maka kulacurkan diriku. Tak masalah bagiku. Ragaku juga sudah rusak berkeping-keping. Tak ada salahnya lagi. Toh kini hidupku sangatlah berkecukupan, bahkan lebih daripada itu. Dengan tarif yang kupasang sekitar 2 juta hingga 5 juta semalam maka tuntaslah sudah kebutuhan materilku.

“Leva” seseorang lelaki memanggilku ketika berpapasan denganku di depan pintu masuk seubuah supermarket. “Riki ya?” tanyaku ragu. “iya va.. ini aku riki, teman kuliahmu dulu. Kamu kemana aja?” ujarnya senang lalu menjabat tanganku. Riki adalah teman kuliahku dulu. Kudengar kabar bahwa ia pernah diam-diam menyukaiku. Beberapa teman menjodoh-jodohkan aku dengannya. Namun aku memilih Arya. Lagipula, Riki adalah seorang lelaki yang sangat baik dan taat beragama, juga dari keluarga terpandang maka kupikir sangat tidak pantas jika aku menyambut perasaannya. Akan tidak sebanding jika aku jadi dengannya.

Akhirnya dari pertemuan itu, kami jadi sering bertemu. Selepas Riki pulang kantor kami pasti menghabiskan waktu bersama. Terkecuali saat aku sedang berkencan melayani tamu. Semakin hari hubungan kami semakin dekat saja. Riki sangat menghargaiku begitupun denganku. Aku melihat ketulusan dari diri riki. Menurutku riki adalah pribadi yang unik. Jarang kudapati seorang pemuda yang disela waktunya ketika sedang bersamaku dengan berbagai aktifitas. Entah ketika kami sedang pergi menonton, pergi karaoke atau sekedar jalan-jalan saja, ia menyempatkan diri untuk sholat lima waktu. Ia juga sangat santun dalam bersikap. Jujur, aku terkesan olehnya. Namun tidak untuk berpikir memiliki hubungan yang lebih lanjut. Aku sadar diri aku siapa dan apa profesiku. Yang aku yakin jika riki mengetahui semua tentangku, ia akan balik badan dan menjauh dariku.

“Leva, boleh aku jujur padamu?” pertanyaan riki membuyarkan lamunanku ketika kami selesai makan di sebuah restoran dekat dengan kantor riki. “ ya tentu aja dong.. jujur aja..” ujarku mempersilahkan riki. “aku sudah lama mencintai kamu va.. sejak kamu sudah tidak pernah aktif kuliah lagi, aku merasa kehilangan kamu.. hingga saat pertemuan tak terduga kita di supermarket itu, aku merasa ini adalah jalan Tuhan.. aku ga mau menyia-nyiakan kesempatan ini va.. aku mau mengajak kamu membangun rumah tangga bersamaku.” Penuturan riki membuatku terkejut. “riki, kamu gak tau siapa aku, bagaimana masa laluku. Kamu akan menyesal” ucapku mengalir begitu saja. “tidak ada yang harus aku sesali va.. aku mencintai kamu tulus. Biarkan masa lalumu menjadi milikmu. Bagaimanapun pahitnya masa lalumu, masa depanmu masih suci. Aku percaya itu. Aku berharap kamu bersedia menjadi istriku.” Ucap riki lirih sambil mengeluarkan kotak cincin dari saku bajunya. Riki mengeluarkan cincin itu dan memasangkannya di jari manisku. Seketika itu aku sangat terharu, aku merasa ada bahagia yang memasuki dan memenuhi sesak seluruh isi dadaku.

Ohh.. entahlah, apakah aku harus berterus terang padanya tentang siapa aku sebenarnya. Atau kututup rapat saja semuanya. Yang jelas saat ini aku sedang bahagia. Aku merasakan perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Dulu, saat aku  berharap arya yang akan memintaku untuk menikah dengannya namun tidak pernah terjadi. Malah segalanya ditukar dengan berlembar-lembar uang. Kupikir bahwa dulu tidak ada cinta. Cinta hanyalah karangan semu imajinasi manusia. tapi saat ini, di hadapanku ada seorang lelaki yang meminta aku menjadi pendampingnya. Disaat kurasakan bahwa aku adalah manusia yang tidak memiliki harapan dan masa depan lagi. Serius... dadaku sangat sesak dipenuhi oleh bahagia.

Sungguh, setelah peristiwa menakjubkan itu aku berpikir untuk melupakan semua masa laluku dan meninggalkan seluruh masa kelam hidupku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan meninggalkan profesiku dan aku berjanji pada diriku akan menjadi istri yang baik untuk riki. Akan kubalas cintanya dengan sebaik-baiknya. Aku sungguh bahagia. Hingga tiba di saat yang telah riki rencanakan, aku akan bertemu dengan kedua orang tua riki. Saat itu aku merasa sangat gugup bercampur bahagia yang tak terhingga. Jantung seakan mau copot rasanya, namun riki selalu meyakinkanku untuk tetap tenang.  Sore itu riki menjemputku dengan mobilnya. Aku yang sudah siap segera mendatanginya ke depan rumahku dan segera naik ke mobil. Setelah aku berada di mobilnya, riki memandangku dan memberikan kecupan di kening. “kamu sudah siap sayang?” tanyanya. “aku sedikit gugup sih..”jawabku. “gak perlu gugup sayang, kamu tenang aja.. everything will be ok..” ucapnya meyakinkan. Akupun menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku mulai merasa tenang.

Empat puluh lima menit perjalanan dari rumahku menuju rumah riki. Tak terasa kami telah sampai di depan pagar rumahnya. Aku segera turun ketika riki memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Riki menggandengku menuju pintu rumahnya. Ketika pintunya dibuka ternyata mami riki telah berdiri menyambut kedatangan kami. Sesosok perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dan segar itu tersenyum dan menyapaku dengan ramah. Aku segera mencium tangannya. Sekali lagi, dadaku sesak karena bahagia. Ternyata aku diterima dengan sambutan yang hangat. Mami riki akhirnya membimbing kami berdua untuk menuju ruang makan karena papi riki telah menunggu kami untuk makan bersama. Ketika kami tiba di ruang makan, aku segera duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Segala macam makanan tersedia di meja besar dan tersusun sangat rapi dan cantik. “mi, papi mana?” riki bertanya pada maminya. “iya, sebentar lagi juga turun sayang.. tadi katanya papi habis mandi.” jawab mami singkat.  Tidak begitu lama kemudian sesosok lelaki setengah baya menuruni anak tangga menuju ruang makan tempat kami bertiga mengobrol. Ketika lelaki itu mendekat aku serasa mengenali lelaki itu. Lelaki itu menatapku lekat ketika akhirnya kami mulai berjabat tangan. Wajahku seketika memucat. Aku mengenali lelaki itu. Garis wajahnya, tangan kekarnya, perawakannya. Aku mengenalinya. Lelaki itu adalah salah satu pelangganku. Pelanggan setiaku. Lelaki hidung belang yang setiap minggunya pasti memanggil diriku untuk menuntaskan nafsu binatangnya. Lelaki hidung belang itu adalah papi riki. Telapak tanganku berubah menjadi amat dingin. Tubuhku bergetar, dan wajahku semakin pucat saja. Tiba-tiba kepalaku sakit, aku memandang sekelilingku degan pandangan buram. Ternyata lelaki itu adalah... ahhh.... dunia kembali berhenti berputar, dan mataku mulai berkunang-kunang. Aku tak sadarkan diri.


Bersambung.... 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel