PETAKA ANAK BANGSA
2015-07-05
Oleh : Nasreen Ega
(Bendahara Umum HMI Cabang Ciputat)
Kasus
kejahatan terhadap anak marak kembali. Di beberapa pemberitaan media masa terus
bergulir dan silih berganti. Dari mulai kasus pencabulan, trafficking hingga pembunuhan anak. Seperti kasus yang sedang
berkembang saat ini, masyarakat dihebohkan oleh kasus kematian Angeline, bocah
yang menjadi korban perkosaan dan pembunuhan. Hingga hari ini kasusnya masih
dalam proses pengusutan. Angeline yang ditemukan meninggal di kandang ayam
milik orang tua angkatnya merupakan salah satu dari sekian banyak anak yang
mengalami perlakuan buruk pada masa kecilnya. Dalam penyidikan polisi ditemukan
bahwa angeline meninggal dalam kondisi penuh dengan luka di sekujur tubuhnya
dan sampai hari ini masih belum jelas, siapakah yang mendalangi kematiannya
tersebut.
Di
bulan april 2014 silam kita juga telah dikejutkan oleh kasus pencabulan di
salah satu sekolah internasional di daerah bilangan jakarta. Kasus itu
melibatkan beberapa oknum sekolah yang menjadi tersangka. Korbannya adalah
siswa didik di tingkat taman kanak-kanak. Sungguh sangat ironis, karena apa
yang telah menimpa anak tersebut, tentu akan menjadi warisan trauma seumur
hidupnya.
Belakangan
juga kita jumpai, media memberitakan adanya perdagangan bayi yang diiklankan
melalui media sosial instagram. Dalam
media sosial tersebut, diunggah foto-foto bayi berikut dengan harganya. Harga
seorang bayi ditaksir kisaran sepuluh juta hingga lima belas juta rupiah. Dan
setelah ditelusuri, ternyata akun instagram yang saat ini bernama “jual bayi
murah”, dulunya adalah instagram
milik sebuah yayasan panti asuhan anak. Namun setelah diklarifikasi kepada
pihak yang bersangkutan mengatakan adalah tidak benar adanya akun itu milik
yayasan tersebut. Apapun yang menjadi kebenaran ceritanya, kasus ini juga
menorehkan luka mendalam. Bahwa nilai seorang anak dapat ditukar dengan
berlembar-lembar uang.
Kasus
demi kasus yang silih berganti menyerang anak-anak di tanah air merupakan
sebuah petaka. Anak adalah cikal bakal penerus bangsa. Namun kondisi yang
terjadi pada hari ini sungguh sangat ironis. Kemajuan bangsa terletak pada
sejauh mana negara dapat menjamin generasi penerusnya. Jika generasi penerusnya
rusak, maka dapat dipastikan masa depan bangsa juga akan rusak.
Perlu
diketahui, menciptakan generasi unggul tidaklah sederhana. Perlu formulasi
khusus untuk itu. Bagaimana kita mampu memaksimalkan potensi pada anak dengan
menjaga stabilitas psikologisnya. Menghindari warisan trauma yang akan dibawa
seumur hidup. Karena trauma bagaikan dinding besar yang menutupi masa depannya.
Karena trauma, perkembangannya akan terganggu dan mimpi-mimpinya akan ter-eliminasi
satu persatu. Lantas tidak akan ada harapan untuknya membangun masa depan
bangsa.
Dengan
adanya kasus demi kasus yang merugikan perkembangan mental anak, negara seharusnya
memiliki tanggung jawab besar dalam hal itu. Tidak terkecuali seluruh elemen
masyarakat. Namun sangat disayangkan, para pemangku kebijakan di negara ini
lebih memilih untuk berpesta pora dalam euforia kekuasaan dan menghamburkan
anggaran untuk hal yang tidak tepat guna. Begitupun elemen masyarakat, kurang
menyadari betapa anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Tidak ada
satupun yang mampu menukar masa depannya, tak terkecuali dengan uang.
Adanya
kasus demi kasus yang menjadikan anak sebagai korban di dalamnya, seharusnya
membuat kita sadar betapa melakukan tindakan preventif jauh lebih baik dibanding harus memperbaiki setelah kasus
terjadi. Betapa kita harus menyadari trauma dan perkembangan buruk akan lebih
baik dicegah daripada harus ditangani setelah terjadi. Sekali lagi, negara
memiliki tanggung jawab besar untuk hal ini. Jika negara tidak jauh memikirkan
hal ini, lantas pada siapa kita gantungkan masa depan mereka dalam membangun
bangsa dan negara?
Dimuat di media cetak Tangsel Pos edisi Jum'at 26 Juni 2015