PETAKA ANAK BANGSA


Oleh : Nasreen Ega
(Bendahara Umum HMI Cabang Ciputat)

Kasus kejahatan terhadap anak marak kembali. Di beberapa pemberitaan media masa terus bergulir dan silih berganti. Dari mulai kasus pencabulan, trafficking hingga pembunuhan anak. Seperti kasus yang sedang berkembang saat ini, masyarakat dihebohkan oleh kasus kematian Angeline, bocah yang menjadi korban perkosaan dan pembunuhan. Hingga hari ini kasusnya masih dalam proses pengusutan. Angeline yang ditemukan meninggal di kandang ayam milik orang tua angkatnya merupakan salah satu dari sekian banyak anak yang mengalami perlakuan buruk pada masa kecilnya. Dalam penyidikan polisi ditemukan bahwa angeline meninggal dalam kondisi penuh dengan luka di sekujur tubuhnya dan sampai hari ini masih belum jelas, siapakah yang mendalangi kematiannya tersebut.

Di bulan april 2014 silam kita juga telah dikejutkan oleh kasus pencabulan di salah satu sekolah internasional di daerah bilangan jakarta. Kasus itu melibatkan beberapa oknum sekolah yang menjadi tersangka. Korbannya adalah siswa didik di tingkat taman kanak-kanak. Sungguh sangat ironis, karena apa yang telah menimpa anak tersebut, tentu akan menjadi warisan trauma seumur hidupnya.
Belakangan juga kita jumpai, media memberitakan adanya perdagangan bayi yang diiklankan melalui media sosial instagram. Dalam media sosial tersebut, diunggah foto-foto bayi berikut dengan harganya. Harga seorang bayi ditaksir kisaran sepuluh juta hingga lima belas juta rupiah. Dan setelah ditelusuri, ternyata akun instagram yang saat ini bernama “jual bayi murah”, dulunya adalah instagram milik sebuah yayasan panti asuhan anak. Namun setelah diklarifikasi kepada pihak yang bersangkutan mengatakan adalah tidak benar adanya akun itu milik yayasan tersebut. Apapun yang menjadi kebenaran ceritanya, kasus ini juga menorehkan luka mendalam. Bahwa nilai seorang anak dapat ditukar dengan berlembar-lembar uang.

Kasus demi kasus yang silih berganti menyerang anak-anak di tanah air merupakan sebuah petaka. Anak adalah cikal bakal penerus bangsa. Namun kondisi yang terjadi pada hari ini sungguh sangat ironis. Kemajuan bangsa terletak pada sejauh mana negara dapat menjamin generasi penerusnya. Jika generasi penerusnya rusak, maka dapat dipastikan masa depan bangsa juga akan rusak.

Perlu diketahui, menciptakan generasi unggul tidaklah sederhana. Perlu formulasi khusus untuk itu. Bagaimana kita mampu memaksimalkan potensi pada anak dengan menjaga stabilitas psikologisnya. Menghindari warisan trauma yang akan dibawa seumur hidup. Karena trauma bagaikan dinding besar yang menutupi masa depannya. Karena trauma, perkembangannya akan terganggu dan mimpi-mimpinya akan ter-eliminasi satu persatu. Lantas tidak akan ada harapan untuknya membangun masa depan bangsa.

Dengan adanya kasus demi kasus yang merugikan perkembangan mental anak, negara seharusnya memiliki tanggung jawab besar dalam hal itu. Tidak terkecuali seluruh elemen masyarakat. Namun sangat disayangkan, para pemangku kebijakan di negara ini lebih memilih untuk berpesta pora dalam euforia kekuasaan dan menghamburkan anggaran untuk hal yang tidak tepat guna. Begitupun elemen masyarakat, kurang menyadari betapa anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Tidak ada satupun yang mampu menukar masa depannya, tak terkecuali dengan uang.


Adanya kasus demi kasus yang menjadikan anak sebagai korban di dalamnya, seharusnya membuat kita sadar betapa melakukan tindakan preventif jauh lebih baik dibanding harus memperbaiki setelah kasus terjadi. Betapa kita harus menyadari trauma dan perkembangan buruk akan lebih baik dicegah daripada harus ditangani setelah terjadi. Sekali lagi, negara memiliki tanggung jawab besar untuk hal ini. Jika negara tidak jauh memikirkan hal ini, lantas pada siapa kita gantungkan masa depan mereka dalam membangun bangsa dan negara?

Dimuat di media cetak Tangsel Pos edisi Jum'at 26 Juni 2015

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel