Euforia Malam Pergantian Tahun & Pencemaran Lingkungan Hidup
2016-03-08
Oleh : Megawaty (Nasreen Ega)
Beberapa bulan lalu wilayah Sumatera seperti Riau dan Jambi diberitakan mengalami bencana kabut yang luar biasa. Kabut tebal yang menyelimuti hampir seluruh kota di Sumatera juga menyebar hingga ke negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Fenomena ini bukan terjadi begitu saja, tetapi menurut beberapa sumber yang telah dilansir media, hal ini dikarenakan adanya oknum yang melakukan pembakaran hutan di Riau untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Tentunya fenomena ini sangat meresahkan masyarakat sekitar. Pencemaran udara yang terjadi mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan yang merugikan masyarakat seperti memburuknya sistem pernapasan, melemahnya sistem indera penglihatan, penciuman dan perasa.
Sebentar lagi kita akan menyambut pergantian tahun. Dimana di dalam ritual perayaan tahun baru, masyarakat gemar merayakannya dengan menyalakan kembang api dan petasan.
Perayaan semacam ini tanpa disadari dapat mencemari lingkungan. Dampak yang akan terjadi dengan adanya pembakaran kembang api dan petasan tersebut adalah terjadinya efek rumah kaca yaitu terperangkapnya panas yang mengakibatkan meningkatnya suhu atmosfer. Kemudian, bagi pembakaran senyawa logam yang dihasilkan dari warna-warni kembang api akan tersuspensi di udara, akibatnya jika terhirup oleh manusia maka senyawa tersebut akan mengendap lama di paru-paru dan akan menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
Mengutip W.S Rendra dalam sajak sebotol bir, yang berbunyi “Hiburan kota besar dalam semalam, sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa”. Kutipan ini seakan menjadi cambuk tersendiri bagi kesenjangan yang terjadi di dalam masyarakat metropolitan dan masyarakat yang hidup di pedesaan begitupun masyarakat yang terkena bencana dampak dari perusakan dan pencemaran lingkungan.
Betapa tidak? Hal ini menimbulkan ironi yang sangat besar. Pertama, dimana saat kita mengetahui bahwa beberapa bulan lalu telah terjadi bencana kabut asap yang sangat merugikan masyarakat dan hal itu dipelopori oleh kerja tangan manusia, kini dalam perayaan pergantian tahun baru masyarakat perkotaan akan kembali menggelar euforia tersebut dengan melemparkan racun dan senyawa logam ke udara. Kedua, rupiah demi rupiah yang berputar dalam perayaan pergantian tahun baru tersebut diperuntukan bagi kompetisi pertunjukan kembang api yang menawan. Sungguh euforia yang sesaat dan tidak bermanfaat.
Bayangkan jika kita berada pada posisi masyarakat yang beberapa bulan lalu merasakan bencana kabut asap. Akankah kita masih mampu merayakan suka cita sebagai masyarakat metropolitan yang dengan mudahnya mencemari udara dengan melepaskan ribuan racun dan senyawa berbahaya lainnya?
Kemudian untuk biaya perayaan pergantian tahun baru yang tidak sedikit, seharusnya kita dapat melihat kanan dan kiri kita. Betapa arifnya jika biaya tersebut dialokasikan untuk pembangunan desa-desa terbelakang atau jika merujuk pada bencana yang terjadi belakangan, biaya tersebut dapat dialokasikan untuk hal tersebut. Tidak hanya itu, pengalokasian biaya “hura-hura” tersebut juga bisa dimanfaatkan bagi investasi kelestarian lingkungan hidup seperti penanaman pohon yang dilakukan secara masif dan bukan simbolis semata.
Perlu diketahui, kelestarian lingkungan hidup merupakan aset yang sangat mahal harganya dan investasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan dengan sangat mudahnya. Yaitu dari kesadaran diri sendiri bahwa lingkungan hidup adalah investasi masa depan peradaban manusia. Siapa yang akan menyangka bumi kita yang semakin tua akan tetap berdiri kokoh tanpa ada tindakan pelestarian terhadapnya? Kalaupun kita tidak mampu melakukan tindakan apapun untuk pelestarian, maka dengan berdiam tidak merusak dan mencemari lingkungan saja sudah termasuk upaya melestarikan.
______________Penulis adalah Alumni pembinaan pengawasan lingkungan hidup dalam monitoring pencemaran lingkungan hidup dan perusakan hutan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan RI 2015
Pernah dimuat di http://konfrontasi.com/content/opini/euforia-malam-pergantian-tahun-pencemaran-lingkungan-hidup