JEMBATAN BATAS MANUSIA

Oleh :
Nasreen Ega (Megawaty)
Mahasiswi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Semester V 

Jembatan identik sebagai media penghubung. Ibadah idealnya ialah sebagai media penghubung manusia dengan Tuhan. Jejak historis ku dengan ibadah terbilang positif. Namun, semua berubah seketika. Kini ibadah bagi ku menjadi musuh negatif. Bahkan aku sempat mempertanyakan apakah Tuhan itu ada?.  
Lontaran pertanyaan yang menyapa kepala  beberapa waktu yang lalu. 
Empirisme menjebak kedalam asa harap yang semu.  Jatuh ke lubang yang sama dengan alasan yang sama. Itulah pengalaman pahit komitmen kebersamaan yang membuat ku sesal.

Menjalin hubungan dengan seseorang dan membuat kesepakatan dalam jenjang keseriusan. Biduk cinta yang kami bangun pun indah. Memberi yang terbaik merupakan wujud nyata ke-akuan ku padanya. Tak banyak harap ku dengan apa yang dia berikan.  Waktu pun terus berjalan dan hari yang tak kuinginkan pun tiba dialah hari perpisahan itu. Meninggalkan jejak kebersamaan untuk pergi keluar kota bagi pekerjaan dan kariernya dalam waktu yang cukup lama. Melepas kepergiannya dengan kekhawatiran dan kecemasan pun kulakukan. Isak tangis mengiringi keberangkatannya. Berhari-hari, berbulan-bulan penantian kesetiaan dihati.

Sebuah penantian harapan panjang pun menerpa ku. Rancang bangun pikiran masa depan pun ku bayangkan dan persiapkan. Setibanya kembali  pulang keinginan lebih menyatakan ikatan keseriusan telah ku persiapkan.  Aku  berharap sesampainya dia di Jakarta nanti kami bisa lebih memahami, jujur pada saat itu aku sangat merindukannya. Hingga pada saat yang telah ditentukan akhirnya ia datang juga.  Kebahagiaan melanda rasa cinta ini dan tumpahan gejolak  pun tak kuasa kubendung.

Limpahan tegur sapa hangat pun dilakukan. Aku terus bercerita bagaimana keadaanku saat ia tidak ada. Sampai saat aku melihatnya hanya diam saja lalu aku pun menyuruh dia bercerita. Dia diam saja dan tak ada cerita, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dalam tas dan memberikan selembar undangan, yang disitu tertera namanya dan satu buah nama lagi tetapi nama itu asing . Nama seorang wanita yang sama sekali tak dikenal.  Aku sempat terdiam, kutanyakan apa maksudnya, ia hanya terdiam. Tak kuasa aku menahan tangis dan aku pun mengeluarkan air mata lemah ku dihadapannya. Tak tahu apa yang ia pikir dan rasakan mengenai hubungan ini. Saat itu pun aku berpikir mungkin akulah orang termalang  di dunia.

Adilkah Tuhan. Mengapa setiap orang yang mendengar ceritaku pasti mengatakan bahwa Tuhan memilki rencana lain dan hikmah dibalik itu semua. Sangat spekulasi. Bayangkan aku memberikan segala yang terbaik untuk menjaga kualitas komitmenku sementara dia menganggap ini sebagai suatu permainan atau entahlah apa yang dia pikirkan. Dimana kuasa Tuhan. Aku selalu mempertanyakannya. Begitu panjang aku memikirkannya, begitu banyak macam-macam “defense mechanism” atau mekanisme pertahanan diri seperti proyeksi , represi dan sebagainya yang digunakan jika ada orang  yang menanyakan dia kepadaku. Aku selalu menghibur diriku sendiri dengan mengalihkan rasa cintaku yang sebenarnya. Dengan mengubahnya ke dalam bentuk benci yang teramat sangat. Tetapi hal itu tidak  membantuku. Aku semakin sakit. Aku tak bisa menghindari kenyataan ini.

Beberapa teman menganjurkan aku untuk mendekatkan diri pada Tuhan, meminta jalan keluar dan belas kasih Allah agar bisa menunjukkan jalan yang terbaik bagiku. Aku semakin berpikir akan konsep itu. “agama adalah candu masyarakat” penderitaan agama pada saat yang sama, merupakan ekspresi penderitaan nyata dan protes terhadap  penderitaan itu. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berperasaan dan jiwa dari kondisi-kondisi yang mati. Agama sebagai agen moral yang aktif khususnya bagi yang  menderita dan lara.

Sekilas pemahamanku bertajuk pada konsep agama menurut Marx apakah aku beragama, aku shalat, menyerahkan diriku pada Tuhan hanya karena aku menderita dan patah hati. Apakah aku tidak menjadikan Tuhan sebagai pelarianku saja. Keimananku semakin berguncang. Aku tak lagi menyentuh Al Quran yang biasa ku baca, perlahan aku meninggalkan shalat lima waktu. Aku semakin runyam, disorientasi dan aku sibuk memikirkan perasaan ku sendiri tanpa peduli dengan orang-orang sekitar.

Sekilas aku sempat juga memikirkan pemikiran Sigmund Freud tentang obsesional compulsive-nya, ketika kita tidak berbahagia disini (dunia). Nantinya akhirat atau kehidupan setelah dunia yang akan memberikan itu maka orang-orang pun melakukannya (beribadah) dan beragama di dunia ini. Apakah aku seperti itu ketika aku beribadah nanti dikarenakan rasa sakitku terhadap lelaki tak berperasaan itu. Dikarenakan aku melarikan diriku pada Tuhan. Aku tak mau.

Aku benar-benar krisis kesadaran, cinta telah membutakan hatiku. Cinta yang seringkali dikatakan orang-orang sebagai sumber energi penggerak yang indah. Sumber energi motivasi seseorang melakukan sesuatu. Tak lagi aku merasakannya. Aku sangat frustrasi.

Cermin Batas Manusia

Cermin dapat menjadi kaca jiwa manusia. Dari cermin dapat melihat ruang tubuh insani.Cermin juga mampu dijadikan kaca jiwa empiris manusia yang berujung pada kesadaran hidup yang mencerahkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia batas berarti garis atau sisi yang menjadi perhinggaan suatu bidang. Sementara terbatas berarti telah dibatasi oleh kekuasaan tertentu. Manusia dengan keterbatasan sangatlah erat relevansinya. Tak ada manusia yang sempurna karena setiap manusia pasti memiliki kelemahan dan kekurangan. Disinilah titik sadar manusia dalam segala keterbatasannya harus mengakui bahwa ada yang lebih dari dirinya.

Tuhan ialah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah manusia sebagai Yang Mahakuasa. Definisi Tuhan tersebut telah menerjemahkan bahwa manusia ditakdirkan untuk menyembah yang kuasa dari dia. Hanya Tuhanlah yang berkuasa dan memiliki kuasa lebih dari manusia. Pengalaman titik buruk hidup dengan terus mempertanyakan dan tidak mempercayai Tuhan sepertinya keliru. Aku mulai sadar ketika setiap langkah hari hidup aku selalu bergantung pada sesuatu. Aku butuh makan, minum, harta dan seterusnya.

Kesadaran yang muncul tanpa bisa aku penuhi dengan kesanggupan. Aku tak bisa menghadirkan minum, aku lemah dalam menghadirkan dan menciptakan makanan, dan aku tak kuasa menciptakan uang yang selama ini menjadi “pemuas” kebutuhan hidup. Lalu berpikir keras bahwa sebenarnya ada dibalik lain kuasa dan segala keterbatasan manusia. Disinilah kesadaran ku perihal eksistensi Tuhan mulai muncul. Ada yang kuasa menciptakan air, tanah, langit, minum, makanan bahkan cinta sekalipun. Sesuatu itu ada dari ketiadaan. Dalam segala batas manusia inilah yang kurasakan bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu kuasa dan kekal untuk disembah. Kalaupun manusia beragama dan beribadah itu hanyalah sarana usaha atau ikhtiar dalam mencintai Tuhannya. Sebuah penyadaran yang muncul dalam diri jika bercermin dalam segala keterbatasan yang dirasakan. Filsuf pendidikan kritis Paulo Freire menegaskan bahwa kesadaran yang timbul dalam diri inilah yang dinamakan kesadaran kritis. Apakah fase kesadaran kritis ini mulai menejelma dalam diri.

Meminjam istilahnya David Hume perihal Problem of induction bahwa tak ada sesuatu representasi logis dalam sebuah kesimpulan (Adip, 2010). Menerjemahkan tafsiran David Hume ini bicara kemungkinan yang tak pasti. Analogi sepuluh buah jeruk jika diketahui dari jeruk satu sampai kesembilan rasanya asam pada jeruk kesepuluh belum tentu rasanya asam juga. Tak ada yang tahu dan bisa menebak suatu yang pasti. Inilah salah satu letak sisi keterbatasan manusia. Berangkat dari analisis tersebut bahwa manusia mempercayai Tuhan lalu beribadah merupakan dominasi usaha untuk menentukan kemungkinan yang terjadi nanti. Lebih baik beribadah daripada tidak beribadah ternyata surga dan neraka itu benar-benar ada. Kalau pun surga dan neraka itu tidak ada minimal ada upaya ikhtiar yang dilakukan manusia. Aku sadar bahwa kesadaran itu tak hadir dengan sendirinya akan tetapi manusialah yang menciptakan. Inilah saat yang tepat buat aku menciptakan kesadaran dari apa yang ku rasakan.

Konklusi

Cinta merupakan kodrat yang tak terhindarkan. Setiap manusia normal pasti mengalami dan merasakannya. Namun, yang terpenting ialah bagaimana manusia mampu dan bisa meramunya kedalam ramuan positif. Seperti yang dikatakan  Erich From Cinta itu suatu aspek ‘orientasi produktif” yakni berhubungan aktif dan kreatif antara seseorang dengan orang lain disekitarnya dengan diri sendiri juga dengan alam (Krich,274). Dimensi positif cinta diterjemahkan kedalam tiga ruangan. Ranah pikiran, ranah tindakan, dan ranah perasaan. Ranah pikiran yakni terjadi persentuhan dengan realitas dunia berdasar penalaran. Ranah tindakan yakni orientasi produktif ditunjukkan dengan pekerjaan produktif. Ranah perasaan yakni orientasi produktif ditunjukkan dengan cinta yang menjaga integritas kemandirian. Pada kerangka inilah cinta itu menimbulkan kesadaran baru untuk lebih baik dalam menafsir dan mengaplikasikannya dalam hidup.

Berawal dari lemahnya aku (seorang yang patah hati) membuat pondasi iman dalam hati hampir mati. Tak banyak yang dilakukan. Terapi, nasihat, saran semua hanya representative yang semu bagiku. Berangkat dari kontemplasi panjang bagaimana cinta itu hadir, bagaimana cinta itu mampu menikam hati tak kenal ampun, bagaimana cinta telah memberikan ruang keraguan yang pekat pada-Nya (sang pencinta abadi). Aku mulai berpikir akan nilai sadar yang menjadi empirisku. Menurut Prof. Abdul Mujib manusia terbagi menjadi tiga struktur kepribadian dalam psikologi islam. Pertama, jasad sebagai wadah terluar diri. Kedua, ruh yang berisi Qalbu lalu memunculkan emosi,. Ketiga, nafs merupakan kombinasi jasad dan ruh lalu memunculkan Aql.  Dari ketiga struktur itulah aku mensintesakan dan menyadari fungsi dan fitrahnya. Aku merasa lebih tenang dan berterimakasih  atas kelengkapan itu pada diriku. Dalam hal ini memaksimalkan Aql dari struktur Nafs bukanlah hal yang buruk. Terus berpikir dan berkontemplasi. Ternyata jawaban itu yang ku temukan. Ketiga struktur tersebut sangat dinamis berinteraksi, disaat emosi mulai tak terkontrol, jasad pun terasa lemah, tak kuasa, malang, sakit dan sebagainya. Namun atas bantuan Aql, semua dalam pencarian panjang. 

Rasionalisasi-rasionalisasi dilakukan hingga membentuk pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan atas empiris hidup dan semua kesakitan-kesakitan. Qalbu pun menerima tegur sapa yang dinamis itu. Melepas, menyembuhkan bahkan mencoba ikhlas. Betapa kesadaran itu memenuhi seluruh ruang dan jiwa. Siapakah yang sesempurna itu mencintai? Menciptakan kelengkapan-kelengkapan dalam diri? Mungkinkah cinta seorang manusia biasa yang mewujudkannya?

Disitulah aku memahami, cinta semu hanya milik manusia, sementara cinta hakiki hanya milik Tuhan  ku Tuhan Allah dengan segala kesempurnaan cinta-Nya. Tak pantas terlalu larut meratapi kesemuan cinta hingga sedemikian rupa. Nalar kritis yang bersumber pada Aql menjembatani telaah kuasa Tuhan. Dia (Allah) mampu menembus tak hanya kepada hati tetapi juga daya pikir. Mengantarkan usaha ikhlas dalam relung jiwa. Dia Mahakuasa, dia mampu menciptakan cinta, lantas mengapa tak mungkin Dia juga memporak-porandakannya.

Demikianlah beberapa empiris hidup yang telah diformulasikan kedalam konsep penyadaran ruang jiwa.









Diajukan dalam perlombaan "ISLAMIC PSYCHOFIESTA FOR LOVE, CARE & CHARITYY" Fakultas Psikologi UIN Jakarta Tahun 2010 dan menjadi karya terbaik ke-2

*Tulisan ini diposkan kembali setelah direvisi pada badan blog dan ditambah foto. Posting pertama pada tahun 2012 di blog ini.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel