JEMBATAN BATAS MANUSIA
2017-04-21
Oleh :
Nasreen
Ega (Megawaty)
Mahasiswi
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Semester
V
Jembatan identik sebagai media
penghubung. Ibadah idealnya ialah sebagai media penghubung manusia dengan
Tuhan. Jejak historis ku dengan ibadah terbilang positif. Namun, semua berubah
seketika. Kini ibadah bagi ku menjadi musuh negatif. Bahkan aku sempat mempertanyakan
apakah Tuhan itu ada?.
Lontaran pertanyaan yang menyapa kepala beberapa
waktu yang lalu.
Empirisme menjebak kedalam asa harap yang semu. Jatuh
ke lubang yang sama dengan alasan yang sama. Itulah pengalaman pahit komitmen
kebersamaan yang membuat ku sesal.
Menjalin hubungan dengan seseorang
dan membuat kesepakatan dalam jenjang keseriusan. Biduk cinta yang kami bangun
pun indah. Memberi yang terbaik merupakan wujud nyata ke-akuan ku padanya. Tak
banyak harap ku dengan apa yang dia berikan. Waktu pun terus berjalan dan
hari yang tak kuinginkan pun tiba dialah hari perpisahan itu. Meninggalkan
jejak kebersamaan untuk pergi keluar kota bagi pekerjaan dan kariernya dalam
waktu yang cukup lama. Melepas kepergiannya dengan kekhawatiran dan kecemasan
pun kulakukan. Isak tangis mengiringi keberangkatannya. Berhari-hari,
berbulan-bulan penantian kesetiaan dihati.
Sebuah penantian harapan panjang
pun menerpa ku. Rancang bangun pikiran masa depan pun ku bayangkan dan
persiapkan. Setibanya kembali pulang keinginan lebih menyatakan ikatan
keseriusan telah ku persiapkan. Aku berharap sesampainya dia di
Jakarta nanti kami bisa lebih memahami, jujur pada saat itu aku sangat
merindukannya. Hingga pada saat yang telah ditentukan akhirnya ia datang
juga. Kebahagiaan melanda rasa cinta ini dan tumpahan gejolak pun
tak kuasa kubendung.
Limpahan tegur sapa hangat pun
dilakukan. Aku terus bercerita bagaimana keadaanku saat ia tidak ada. Sampai
saat aku melihatnya hanya diam saja lalu aku pun menyuruh dia bercerita. Dia
diam saja dan tak ada cerita, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dalam tas
dan memberikan selembar undangan, yang disitu tertera namanya dan satu buah
nama lagi tetapi nama itu asing . Nama seorang wanita yang sama sekali tak
dikenal. Aku sempat terdiam, kutanyakan apa maksudnya, ia hanya terdiam.
Tak kuasa aku menahan tangis dan aku pun mengeluarkan air mata lemah ku
dihadapannya. Tak tahu apa yang ia pikir dan rasakan mengenai hubungan ini.
Saat itu pun aku berpikir mungkin akulah orang termalang di dunia.
Adilkah Tuhan. Mengapa setiap orang
yang mendengar ceritaku pasti mengatakan bahwa Tuhan memilki rencana lain dan
hikmah dibalik itu semua. Sangat spekulasi. Bayangkan aku memberikan segala
yang terbaik untuk menjaga kualitas komitmenku sementara dia menganggap ini
sebagai suatu permainan atau entahlah apa yang dia pikirkan. Dimana kuasa
Tuhan. Aku selalu mempertanyakannya. Begitu panjang aku memikirkannya, begitu
banyak macam-macam “defense
mechanism” atau mekanisme
pertahanan diri seperti proyeksi , represi dan sebagainya yang digunakan jika
ada orang yang menanyakan dia kepadaku. Aku selalu menghibur diriku
sendiri dengan mengalihkan rasa cintaku yang sebenarnya. Dengan mengubahnya ke
dalam bentuk benci yang teramat sangat. Tetapi hal itu tidak membantuku.
Aku semakin sakit. Aku tak bisa menghindari kenyataan ini.
Beberapa teman menganjurkan aku
untuk mendekatkan diri pada Tuhan, meminta jalan keluar dan belas kasih Allah
agar bisa menunjukkan jalan yang terbaik bagiku. Aku semakin berpikir akan
konsep itu. “agama adalah candu masyarakat” penderitaan agama pada saat yang
sama, merupakan ekspresi penderitaan nyata dan protes terhadap
penderitaan itu. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dari
dunia yang tak berperasaan dan jiwa dari kondisi-kondisi yang mati. Agama
sebagai agen moral yang aktif khususnya bagi yang menderita dan lara.
Sekilas pemahamanku bertajuk pada
konsep agama menurut Marx apakah aku beragama, aku shalat, menyerahkan diriku
pada Tuhan hanya karena aku menderita dan patah hati. Apakah aku tidak
menjadikan Tuhan sebagai pelarianku saja. Keimananku semakin berguncang. Aku
tak lagi menyentuh Al Quran yang biasa ku baca, perlahan aku meninggalkan
shalat lima waktu. Aku semakin runyam, disorientasi dan aku sibuk memikirkan
perasaan ku sendiri tanpa peduli dengan orang-orang sekitar.
Sekilas aku sempat juga memikirkan
pemikiran Sigmund Freud tentang obsesional compulsive-nya, ketika kita tidak
berbahagia disini (dunia). Nantinya akhirat atau kehidupan setelah dunia yang
akan memberikan itu maka orang-orang pun melakukannya (beribadah) dan beragama
di dunia ini. Apakah aku seperti itu ketika aku beribadah nanti dikarenakan
rasa sakitku terhadap lelaki tak berperasaan itu. Dikarenakan aku melarikan
diriku pada Tuhan. Aku tak mau.
Aku benar-benar krisis kesadaran,
cinta telah membutakan hatiku. Cinta yang seringkali dikatakan orang-orang
sebagai sumber energi penggerak yang indah. Sumber energi motivasi seseorang
melakukan sesuatu. Tak lagi aku merasakannya. Aku sangat frustrasi.
Cermin Batas Manusia
Cermin dapat menjadi kaca jiwa
manusia. Dari cermin dapat melihat ruang tubuh insani.Cermin juga mampu
dijadikan kaca jiwa empiris manusia yang berujung pada kesadaran hidup yang
mencerahkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia batas berarti garis atau sisi
yang menjadi perhinggaan suatu bidang. Sementara terbatas berarti telah
dibatasi oleh kekuasaan tertentu. Manusia dengan keterbatasan sangatlah erat
relevansinya. Tak ada manusia yang sempurna karena setiap manusia pasti
memiliki kelemahan dan kekurangan. Disinilah titik sadar manusia dalam segala
keterbatasannya harus mengakui bahwa ada yang lebih dari dirinya.
Tuhan ialah sesuatu yang diyakini,
dipuja, dan disembah manusia sebagai Yang Mahakuasa. Definisi Tuhan tersebut
telah menerjemahkan bahwa manusia ditakdirkan untuk menyembah yang kuasa dari
dia. Hanya Tuhanlah yang berkuasa dan memiliki kuasa lebih dari manusia.
Pengalaman titik buruk hidup dengan terus mempertanyakan dan tidak mempercayai
Tuhan sepertinya keliru. Aku mulai sadar ketika setiap langkah hari hidup aku
selalu bergantung pada sesuatu. Aku butuh makan, minum, harta dan seterusnya.
Kesadaran yang muncul tanpa bisa
aku penuhi dengan kesanggupan. Aku tak bisa menghadirkan minum, aku lemah dalam
menghadirkan dan menciptakan makanan, dan aku tak kuasa menciptakan uang yang
selama ini menjadi “pemuas” kebutuhan hidup. Lalu berpikir keras bahwa
sebenarnya ada dibalik lain kuasa dan segala keterbatasan manusia. Disinilah
kesadaran ku perihal eksistensi Tuhan mulai muncul. Ada yang kuasa menciptakan
air, tanah, langit, minum, makanan bahkan cinta sekalipun. Sesuatu itu ada dari
ketiadaan. Dalam segala batas manusia inilah yang kurasakan bahwa Tuhan itu
ada. Tuhan itu kuasa dan kekal untuk disembah. Kalaupun manusia beragama dan
beribadah itu hanyalah sarana usaha atau ikhtiar dalam mencintai Tuhannya.
Sebuah penyadaran yang muncul dalam diri jika bercermin dalam segala
keterbatasan yang dirasakan. Filsuf pendidikan kritis Paulo Freire menegaskan
bahwa kesadaran yang timbul dalam diri inilah yang dinamakan kesadaran kritis.
Apakah fase kesadaran kritis ini mulai menejelma dalam diri.
Meminjam istilahnya David Hume
perihal Problem of induction bahwa tak ada sesuatu representasi
logis dalam sebuah kesimpulan (Adip, 2010). Menerjemahkan tafsiran David Hume
ini bicara kemungkinan yang tak pasti. Analogi sepuluh buah jeruk jika
diketahui dari jeruk satu sampai kesembilan rasanya asam pada jeruk kesepuluh
belum tentu rasanya asam juga. Tak ada yang tahu dan bisa menebak suatu yang
pasti. Inilah salah satu letak sisi keterbatasan manusia. Berangkat dari
analisis tersebut bahwa manusia mempercayai Tuhan lalu beribadah merupakan
dominasi usaha untuk menentukan kemungkinan yang terjadi nanti. Lebih baik
beribadah daripada tidak beribadah ternyata surga dan neraka itu benar-benar
ada. Kalau pun surga dan neraka itu tidak ada minimal ada upaya ikhtiar yang
dilakukan manusia. Aku sadar bahwa kesadaran itu tak hadir dengan sendirinya
akan tetapi manusialah yang menciptakan. Inilah saat yang tepat buat aku
menciptakan kesadaran dari apa yang ku rasakan.
Konklusi
Cinta merupakan kodrat yang tak
terhindarkan. Setiap manusia normal pasti mengalami dan merasakannya. Namun,
yang terpenting ialah bagaimana manusia mampu dan bisa meramunya kedalam ramuan
positif. Seperti yang dikatakan Erich From Cinta itu suatu aspek
‘orientasi produktif” yakni berhubungan aktif dan kreatif antara seseorang
dengan orang lain disekitarnya
dengan diri sendiri juga dengan alam (Krich,274). Dimensi positif cinta
diterjemahkan kedalam tiga ruangan. Ranah pikiran, ranah tindakan, dan ranah
perasaan. Ranah pikiran yakni terjadi persentuhan dengan realitas dunia
berdasar penalaran. Ranah tindakan yakni orientasi produktif ditunjukkan dengan
pekerjaan produktif. Ranah perasaan yakni orientasi produktif ditunjukkan
dengan cinta yang menjaga integritas kemandirian. Pada kerangka inilah cinta
itu menimbulkan kesadaran baru untuk lebih baik dalam menafsir dan
mengaplikasikannya dalam hidup.
Berawal dari lemahnya aku (seorang
yang patah hati) membuat pondasi iman dalam hati hampir mati. Tak banyak yang
dilakukan. Terapi, nasihat, saran semua hanya representative yang semu bagiku.
Berangkat dari kontemplasi panjang bagaimana cinta itu hadir, bagaimana cinta
itu mampu menikam hati tak kenal ampun, bagaimana cinta telah memberikan ruang
keraguan yang pekat pada-Nya (sang pencinta abadi). Aku mulai berpikir akan
nilai sadar yang menjadi empirisku. Menurut Prof. Abdul Mujib manusia terbagi
menjadi tiga struktur kepribadian dalam psikologi islam. Pertama, jasad sebagai
wadah terluar diri. Kedua, ruh yang berisi Qalbu lalu memunculkan emosi,.
Ketiga, nafs merupakan kombinasi jasad dan ruh lalu memunculkan Aql. Dari
ketiga struktur itulah aku mensintesakan dan menyadari fungsi dan fitrahnya.
Aku merasa lebih tenang dan berterimakasih atas kelengkapan itu pada
diriku. Dalam hal ini memaksimalkan Aql dari struktur Nafs bukanlah hal yang
buruk. Terus berpikir dan berkontemplasi. Ternyata jawaban itu yang ku temukan.
Ketiga struktur tersebut sangat dinamis berinteraksi, disaat emosi mulai tak
terkontrol, jasad pun terasa lemah, tak kuasa, malang, sakit dan sebagainya.
Namun atas bantuan Aql, semua dalam pencarian panjang.
Rasionalisasi-rasionalisasi
dilakukan hingga membentuk pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan atas empiris hidup
dan semua kesakitan-kesakitan. Qalbu pun menerima tegur sapa yang dinamis itu.
Melepas, menyembuhkan bahkan mencoba ikhlas. Betapa kesadaran itu memenuhi
seluruh ruang dan jiwa. Siapakah yang sesempurna itu mencintai? Menciptakan
kelengkapan-kelengkapan dalam diri? Mungkinkah cinta seorang manusia biasa yang
mewujudkannya?
Disitulah aku memahami, cinta semu
hanya milik manusia, sementara cinta hakiki hanya milik Tuhan ku Tuhan Allah dengan segala
kesempurnaan cinta-Nya. Tak pantas terlalu larut meratapi kesemuan cinta hingga
sedemikian rupa. Nalar kritis yang bersumber pada Aql menjembatani telaah kuasa
Tuhan. Dia (Allah) mampu menembus tak hanya kepada hati tetapi juga daya pikir.
Mengantarkan usaha ikhlas dalam relung jiwa. Dia Mahakuasa, dia mampu
menciptakan cinta, lantas mengapa tak mungkin Dia juga memporak-porandakannya.
Demikianlah beberapa empiris hidup yang telah
diformulasikan kedalam konsep penyadaran ruang jiwa.
Diajukan dalam perlombaan "ISLAMIC PSYCHOFIESTA FOR LOVE,
CARE & CHARITYY" Fakultas Psikologi UIN Jakarta Tahun 2010 dan menjadi karya terbaik ke-2
*Tulisan ini diposkan kembali setelah direvisi pada badan blog dan ditambah foto. Posting pertama pada tahun 2012 di blog ini.
*Tulisan ini diposkan kembali setelah direvisi pada badan blog dan ditambah foto. Posting pertama pada tahun 2012 di blog ini.