MEMBENDUNG FALSAFAH BANGSA; MENJUNJUNG KEADILAN GENDER DALAM RAHIM PANCASILA
2017-04-21
Oleh : Megawaty
(Wasekbid Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI
2016-2018)
Peringatan hari perempuan internasional dari tahun ke tahun meninggalkan
jejak euforia tersendiri bagi penggiat keadilan dan kesetaraan gender di setiap
negara. Berlandaskan kesenjangan dan diskriminasi yang terjadi antara lelaki
dan perempuan dalam memperoleh akses dan kesempatan, juga ketimpangan yang
terjadi di segala sektor kehidupan, maka bermacam-macam tuntutan disuarakan.
Di Indonesia sendiri, penuntasan kasus yang berkaitan dengan penyuaraan
keadilan dan kesetaraan gender sangat jauh dari kata tuntas. Terkadang respon
negatif lebih sering dituai ketimbang respon positif dari segala lini.
Penyuaraan keadilan dan kesetaraan gender ini diasumsikan sebagai sebuah produk
yang seolah-olah radikal dalam bergerak dan menuntut hak. Dan hal ini hanya
diprakarsai oleh sebelah pihak saja yaitu perempuan, yang dalam asumsi sangat
erat kaitannya dengan tuntutan keadilan dan kesetaraan gender.
Keadilan dan kesetaraan gender telah mencuri ruang interpretasi
tersendiri di masing-masing kepala. Tergambarkan hanya perempuan yang
membutuhkan konsepsi dan gerak tersebut, padahal laju penerapannya sangat
dibutuhkan bagi kemaslahatan bersama. Tak hanya terbilang untuk satu jenis
kelamin, Konsepsi ini dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan hak semua
manusia sebagai makhluk yang merdeka.
Perlu diingat, bahwa yang menjadi permasalahan tidak tuntasnya perkara
keadilan dan kesetaraan gender adalah relasi kuasa. Menjadi jelas jika relasi
kuasa seseorang atau pihak tertentu terhadap seseorang atau pihak lainnya, maka
sudah pasti siapa merasa menguasai siapa akan terjadi. Dan jika hal itu sudah
terjadi maka akan dengan sangat mudahnya ruang ketidakadilan masuk dari segala
penjuru. Perlu dipahami, relasi kuasa adalah penentu segalanya. Boleh jadi,
jika hari ini yang dikonstruksikan secara dominan adalah kaum laki-laki maka
tidak menutup kemungkinan suatu saat perempuan juga dapat dikonstruksikan
sebagai dominasi terkuat dalam segala lini kehidupan. Namun perjuangan keadilan
dan kesetaraan gender bukanlah perjuangan yang mengkehendaki salah satu pihak
dari tatanan tersebut menjadi predator bagi pihak lainnya. Semangat dan
perjuangan kesetaraan dan keadilan gender adalah semangat akan suatu konsepsi
keadilan dan kemaslahatan bersama.
Bicara konsepsi keadilan, sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mengimpor
konsepsi dari luar. Jika kita dapat menggali lebih dalam, sebuah konsepsi akan
keadilan telah tertuang di dalam falsafah negara kita yaitu pancasila. Dalam
lima butir sila tersebut salah satunya terdapat sebuah rumusan tentang keadilan
yang menyeluruh. Keadilan yang tidak memihak satu golongan saja. Keadilan yang dapat dirasakan oleh setiap individu sebagai
elemen terkecil dari sebuah negara. Keadilan yang buta karena tidak memandang
salah satu etnis, suku, budaya, ras, jenis kelamin dan agama.
Pancasila telah lama menjadi sebuah dasar negara yang sempurna. Semua
nilai yang terangkum didalamnya merupakan khazanah kekayaan bangsa yang beradab
dan bermartabat. Namun sayangnya, pancasila saat ini bagaikan barang usang yang
tidak terpakai. Ditinjau dari sisi manapun, kelima butir sila yang terkandung
didalamnya telah meliputi semua aspek kehidupan. Namun karena tidak dimaknai
sebagai pandangan hidup dalam bernegara, maka seolah kita merasa kekeringan
guyuran falsafah hidup, kekurangan konsepsi dalam banyak hal termasuk dalam
konteks keadilan.
Dalam sudut pandang holistik, pancasila seharusnya dapat dimaknai sebagai
solusi atas permasalahan yang ada. Namun sayangnya, pekerjaan rumah kita
semakin banyak tapi tidak juga menjadikan formula dalam pancasila sebagai
penyelesaian terbaik. Jika kita runtut kepingan permasalahan kesenjangan yang
tercecer, kita akan menemukan peristiwa demi peristiwa yang tidak ada titik
temunya. Menelusuri sejarah yang mengorbankan nilai keadilan di dalamnya,
adalah ketika kita mengingat tragedi mei 1998. Kerusuhan yang terjadi dan
pelanggaran HAM masa lalu seolah memberikan efek traumatis yang tidak berujung.
Bukan bermaksud membuka luka yang menganga, namun ironinya, tidak ada luka yang
kembali dibuka jika sebenarnya tidak pernah ada obat atau penawar luka tersebut
hingga luka sembuh. Tidak pernah ada penyelesaian dan kepastian hukum atas
tragedi pelanggaran HAM yang terjadi dan sebagian besar korbannya adalah
perempuan.
Benar adanya kita harus berjalan ke arah depan. Tidak baik terus
mengutuki kegelapan masa lalu. Namun perlu diingat, sejarah tidak akan pernah
bisa dibungkam. Sejarah akan menemukan jalannya sendiri untuk terungkap.
Sebagaimana tidak tuntasnya kepastian hukum di masa lalu, mungkinkah di masa
kini dan mendatang segala persoalan yang berkaitan dengan keadilan dapat
terakomodir?.
Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan setiap
tahunnya meningkat pesat. Angka perkosaan dan diskriminasi lainnya terhadap
perempuan juga ikut melonjak. Namun kondisi seperti ini hanya yang terlihat di
permukaan saja. Persis seperti fenomena gunung es. Yang terlihat, terlaporkan
dan yang diketahui hanya puncaknya saja, tetapi jika kita bisa melihat dasar
dari gunung es yang tidak terlihat maka akan ditemukan lebih banyak lagi
fenomena yang tidak terungkap dan jumlahnya lebih besar dari sisi puncak gunung
es yang terlihat. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya keadilan sosial. Dan
konstruksi masyarakat masih menyepakati perihal sosok superior dan sosok
inferior.
Masih bicara perkara keadilan, Franz Magnis Suseno merumuskan bahwa
struktur sosial adalah hal pokok yang dapat mewujudkan keadilan sosial. Itu
artinya struktur sosial merupakan pokok penting yang harus terlebih dahulu
dibenahi. Ketiadaan akan pemahaman keadilan dan kesetaraan gender harus
dimusnahkan. Tidak ada lagi manusia kelas pertama maupun kelas dua seperti
pemikir-pemikir abad pertengahan yang diceritakan simone de beauvoir yang masih
sangat mengagungkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Struktur sosial sebagaimana konsep
ideal yang ada harus menjunjung keadilan sosial yang tidak timpang sebelah.
Nilai-nilai pancasila yang terkandung didalamnya harus diresapi dan di
implementasikan sebagai wujud pemahaman mendalam terhadap falsafah dasar
negara. Dengan begitu, besar harapan tuntutan akan keadilan dan kesetaraan
gender tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat radikal dan hanya
memihak terhadap salah satu jenis kelamin saja, tetapi lebih daripada itu,
konsepsi ini sudah lebih dulu hadir dari rahim pancasila. oleh karena itu,
keberadaannya meniadakan segala bentuk kesenjangan demi terwujudnya kedamaian
di atas muka bumi ini.
Pernah dimuat di harian cetak Tangsel Pos edisi 09 Maret 2017