MENGAWAL KENDENG

Oleh:
Megawaty
 (Wasekbid Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI 2016-2018)

Penolakan pembangunan pabrik semen Indonesia di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah akhirnya menuai protes kembali. Pasalnya setelah setahun silam para petani kendeng mengajukan gugatannya ke mahkamah agung dan akhirnya dikeluarkan keputusan untuk menghentikan segala bentuk aktifitas oleh PT Semen Indonesia, kini tuntutan tersebut mulai tergerus kembali.

Inkonsistensi pemerintah tersebutlah yang menggerakkan petani Kendeng melakukan aksi pasung kaki menggunakan semen di depan Istana negara Jakarta, pada 13 hingga 18 maret 2017 lalu. Mereka menyuarakan aspirasinya terhadap janji Presiden Joko Widodo yang telah dikabulkan setahun lalu.

Beberapa stasiun televisi menyiarkan aksi pasung kaki dengan semen secara bersamaan. Namun ada yang menarik dan menggelitik nalar beserta intuisi. Dalam aksi tersebut, tampak dua orang petani perempuan diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi. Dalam wawancaranya, petani perempuan pertama menyetujui didirikannya pabrik semen di Rembang, Jawa tengah dengan alasan bahwasanya dengan adanya pabrik tersebut tentu akan meningkatkan perekonomian masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan para petani di sekitar daerah tersebut. Yang perlu dipikirkan kemudian hanyalah merubah mata pencaharian dari petani menjadi buruh yang mampu mendukung kegiatan pabrik.

Kemudian petani kedua menyampaikan tuntutanntya agar presiden menepati janji setahun silam pada petani kendeng untuk menghentikan aktifitas pembangunan pabrik semen Indonesia. Baginya, ia bersama petani lainnya tidak akan tergiur oleh iming-iming kesejahteraan yang ditawarkan oleh pihak PT Semen Indonesia dengan janji akan membagi keuntungan dari pabrik serta menciptakan lapangan kerja baru bagi para petani Kendeng.

Dituturkan oleh ibu tani tersebut, bahwa pendirian PT Semen Indonesia akan merusak kelestarian alam. Terutama alam Jawa tengah yang sangat berpotensi sebagai kawasan pertanian yang dapat menunjang ketahanan pangan nasional.

Ditegaskannya kembali bahwa menyuarakan aspirasi dan keadilan ini bukan semata-mata demi kepentingan golongan petani saja, tetapi lebih daripada itu. Menurutnya kita perlu mencintai ibu bumi yang telah memberikan pengairan dan sumber pangan yang berlimpah ruah. Jika kelestarian ibu bumi dirusak hanya karena iming-iming kehidupan baru yang layak bagi petani di wilayah tersebut, tentu hal ini akan menimbulkan petaka.

Ibu tani juga menegaskan dengan mantap bahwa tidak apa ia menjadi petani seumur hidup. Karena baginya jika semua orang menjadi pekerja, karyawan ataupun buruh, maka tidak ada  lagi yang akan bertugas sebagai pengawal asupan pangan bagi negara.

Menyaksikan kasus tersebut, memang akhir-akhir ini pemerintah dalam menyelesaikan konflik cenderung menciptakan potensi Chaos. Artinya, masyarakat dihadapkan pada masyarakat (Society vs society) bukan masyarakat dihadapkan pada negara (Society vs State) sehingga walaupun kita melihat dua sisi paradoks tentang kasus tersebut memiliki titik temu yang sama yaitu pencapaian kesejahteraan, namun tetap saja kita dihadapkan pada dua pola pikir masyarakat yang berbeda dan rentan chaos.

Dalam perjalanannya, Kendeng menjadi saksi bahwa negara kita telah kehilangan nurani dan keberpihakan pada suara rakyat. Perjuangan Kendeng telah dilakukan secara masif, penolakan warga Kendeng pun telah sampai di meja istana pada 2016 silam. Angin segar sedikit berhembus ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan aparatusnya dalam hal ini Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan untuk membuat kajian lingungan hidup strategis dan memerintahkan untuk menunda semua izin tambang di pegunungan Kendeng.

Ada harapan besar bahwa Presiden Joko Widodo akan berpihak pada rakyat dengan mengikuti putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan warga Kendeng untuk membatalkan seluruh izin lingkungan kegiatan penambangan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Namun disayangkan kebijakan sepertinya masih landai dan arah keberpihakan seperti masih memihak PT Semen Indonesia. Dugaan itu dikuatkan dengan mediasi yang coba dibangun pemerintah. ada pula upaya yang dilakukan oleh Rini Soemarno, Menteri BUMN, Walikota Semarang dan PT Semen Indonesia mendekati Ulama sepuh Kharismatik KH.Makmoen Zubair yang memiliki pengaruh cukup kuat di Jawa tengah. Kepentingannya, tentu saja kepentingan penguatan pembangunan PT Semen Indonesia.

Selain itu, Perbankan juga memiliki andil besar terhadap pembangunan PT Semen Indonesia yang kini keberadaannya menimbulkan kontroversi akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan. Menurut pemberitaan yang dilansir salah satu media, Perbankan memberikan fasilitas kredit investasi yang akan digunakan untuk pembiayaan proyek pabrik Rembang tanpa memiliki standarisasi tertentu khususnya untuk dampak lingkungan sekitar. Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa segalanya berorientasi pada komersial bisnis murni. Tidak ada lagi Morality bussines ethic yang seharusnya menjadi pertimbangan. Hal tersebut juga dapat menjadi dugaan kuat bahwa keberpihakan segelintir penguasa dan pengusaha berkolaborasi dalam kasus pembangunan PT Semen Indonesia.

Bagi orang yang mengamalkan pemikiran trisakti Bung Karno tentu tidak lupa soal pasal berdikari secara ekonomi dan aplikasi atas konsepsi petani marhaen. Bahwasanya berdikari secara ekonomi hanya bisa dicapai atas azas kepemilikan ruang produksi dan alat produksi yang menjamin aktifitas ekonomi masyarakat. Jadi, dapat dipahami bahwa cita-cita kesejahteraan rakyat harus dicapai atas ruang dan alat produksi yang mutlak harus dimiliki oleh rakyat. Bukan pemilik modal atau penguasa dengan sistem feodal.


Jika dalam negara ada sekelompok elit penguasa dan pengusaha telah bersepakat pada ketidak berpihakan atas jaminan aktifitas ekonomi rakyat, maka bisa jadi nurani bangsa telah kelu dan hilang arah atas konsepsi kemerdekaan dan keadilan sosial. Kemudian, seperti lantunan nyanyian ibu pertiwi, kita hanya akan menyaksikan tangisan ibu pertiwi semakin bergemuruh mengiringi matinya nalar dan nurani terhadap negeri. Kendeng telah menjadi saksi kelunya nalar dan nurani bangsa jika kasus ini tidak dapat dituntaskan secara arif bijaksana.

Dimuat di harian nasional Amanah edisi 06 April 2017


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel