MENGAWAL KENDENG
2017-04-21
Oleh:
Megawaty
(Wasekbid Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI
2016-2018)
Penolakan
pembangunan pabrik semen Indonesia di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah akhirnya
menuai protes kembali. Pasalnya setelah setahun silam para petani kendeng
mengajukan gugatannya ke mahkamah agung dan akhirnya dikeluarkan keputusan
untuk menghentikan segala bentuk aktifitas oleh PT Semen Indonesia, kini
tuntutan tersebut mulai tergerus kembali.
Inkonsistensi pemerintah tersebutlah yang menggerakkan petani Kendeng melakukan aksi pasung kaki menggunakan semen di depan Istana negara Jakarta, pada 13 hingga 18 maret 2017 lalu. Mereka menyuarakan aspirasinya
terhadap janji Presiden Joko Widodo yang telah dikabulkan setahun lalu.
Beberapa
stasiun televisi menyiarkan aksi pasung kaki dengan semen secara bersamaan.
Namun ada yang menarik dan menggelitik nalar beserta intuisi. Dalam aksi
tersebut, tampak dua orang petani perempuan diwawancarai oleh salah satu
stasiun televisi. Dalam wawancaranya, petani perempuan pertama menyetujui
didirikannya pabrik semen di Rembang, Jawa tengah dengan alasan bahwasanya
dengan adanya pabrik tersebut tentu akan meningkatkan perekonomian masyarakat
dan meningkatkan kesejahteraan para petani di sekitar daerah tersebut. Yang
perlu dipikirkan kemudian hanyalah merubah mata pencaharian dari petani menjadi
buruh yang mampu mendukung kegiatan pabrik.
Kemudian
petani kedua menyampaikan tuntutanntya agar presiden menepati janji setahun
silam pada petani kendeng untuk menghentikan aktifitas pembangunan pabrik semen
Indonesia. Baginya, ia bersama petani lainnya tidak akan tergiur oleh
iming-iming kesejahteraan yang ditawarkan oleh pihak PT Semen Indonesia dengan
janji akan membagi keuntungan dari pabrik serta menciptakan lapangan kerja baru
bagi para petani Kendeng.
Dituturkan
oleh ibu tani tersebut, bahwa pendirian PT Semen Indonesia akan merusak
kelestarian alam. Terutama alam Jawa tengah yang sangat berpotensi sebagai
kawasan pertanian yang dapat menunjang ketahanan pangan nasional.
Ditegaskannya
kembali bahwa menyuarakan aspirasi dan keadilan ini bukan semata-mata demi
kepentingan golongan petani saja, tetapi lebih daripada itu. Menurutnya kita
perlu mencintai ibu bumi yang telah memberikan pengairan dan sumber pangan yang
berlimpah ruah. Jika kelestarian ibu bumi dirusak hanya karena iming-iming
kehidupan baru yang layak bagi petani di wilayah tersebut, tentu hal ini akan
menimbulkan petaka.
Ibu
tani juga menegaskan dengan mantap bahwa tidak apa ia menjadi petani seumur
hidup. Karena baginya jika semua orang menjadi pekerja, karyawan ataupun buruh,
maka tidak ada lagi yang akan bertugas
sebagai pengawal asupan pangan bagi negara.
Menyaksikan
kasus tersebut, memang akhir-akhir ini pemerintah dalam menyelesaikan konflik
cenderung menciptakan potensi Chaos. Artinya,
masyarakat dihadapkan pada masyarakat (Society
vs society) bukan masyarakat dihadapkan pada negara (Society vs State) sehingga walaupun kita melihat dua sisi paradoks
tentang kasus tersebut memiliki titik temu yang sama yaitu pencapaian
kesejahteraan, namun tetap saja kita dihadapkan pada dua pola pikir masyarakat
yang berbeda dan rentan chaos.
Dalam
perjalanannya, Kendeng menjadi saksi bahwa negara kita telah kehilangan nurani
dan keberpihakan pada suara rakyat. Perjuangan Kendeng telah dilakukan secara
masif, penolakan warga Kendeng pun telah sampai di meja istana pada 2016 silam.
Angin segar sedikit berhembus ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan
aparatusnya dalam hal ini Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan untuk
membuat kajian lingungan hidup strategis dan memerintahkan untuk menunda semua
izin tambang di pegunungan Kendeng.
Ada
harapan besar bahwa Presiden Joko Widodo akan berpihak pada rakyat dengan
mengikuti putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan warga Kendeng
untuk membatalkan seluruh izin lingkungan kegiatan penambangan yang dikeluarkan
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Namun
disayangkan kebijakan sepertinya masih landai dan arah keberpihakan seperti
masih memihak PT Semen Indonesia. Dugaan itu dikuatkan dengan mediasi yang coba
dibangun pemerintah.
ada pula upaya
yang dilakukan oleh Rini Soemarno, Menteri BUMN, Walikota Semarang dan PT Semen Indonesia mendekati Ulama
sepuh Kharismatik KH.Makmoen
Zubair
yang memiliki pengaruh cukup kuat di Jawa tengah. Kepentingannya, tentu saja
kepentingan penguatan pembangunan PT Semen Indonesia.
Selain
itu, Perbankan juga memiliki andil besar terhadap pembangunan PT Semen
Indonesia yang kini keberadaannya menimbulkan kontroversi akibat dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Menurut pemberitaan yang dilansir salah satu
media, Perbankan memberikan fasilitas kredit investasi yang akan digunakan
untuk pembiayaan proyek pabrik Rembang tanpa memiliki standarisasi tertentu
khususnya untuk dampak lingkungan sekitar. Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa
segalanya berorientasi pada komersial bisnis murni. Tidak ada lagi Morality bussines ethic yang seharusnya menjadi pertimbangan. Hal tersebut juga dapat menjadi dugaan kuat
bahwa keberpihakan segelintir penguasa dan pengusaha berkolaborasi dalam kasus
pembangunan PT Semen Indonesia.
Bagi
orang yang mengamalkan pemikiran trisakti Bung Karno tentu tidak lupa soal
pasal berdikari secara ekonomi dan aplikasi atas konsepsi petani marhaen.
Bahwasanya berdikari secara ekonomi hanya bisa dicapai atas azas kepemilikan
ruang produksi dan alat produksi yang menjamin aktifitas ekonomi masyarakat.
Jadi, dapat dipahami bahwa cita-cita kesejahteraan rakyat harus dicapai atas
ruang dan alat produksi yang mutlak harus dimiliki oleh rakyat. Bukan pemilik
modal atau penguasa dengan sistem feodal.
Jika
dalam negara ada sekelompok elit penguasa dan pengusaha telah bersepakat pada
ketidak berpihakan atas jaminan aktifitas ekonomi rakyat, maka bisa jadi nurani
bangsa telah kelu dan hilang arah atas konsepsi kemerdekaan dan keadilan
sosial. Kemudian, seperti lantunan nyanyian ibu pertiwi, kita hanya akan
menyaksikan tangisan ibu pertiwi semakin bergemuruh mengiringi matinya nalar
dan nurani terhadap negeri. Kendeng telah menjadi saksi kelunya nalar dan
nurani bangsa jika kasus ini tidak dapat dituntaskan secara arif bijaksana.
Dimuat di harian nasional Amanah edisi 06 April 2017