CATATAN KECIL UNTUK GADISKU, MENTARI

Bagiku, setiap langkah kaki yang kutapaki di bumi ini adalah perjalanan panjang yang kita hanya boleh mengistirahatkan diri sejenak untuk kemudian berjalan lagi. Saat ini aku tidak begitu peduli pada hancur-lebur dan koyak-moyak raga di setiap incinya. Bukankah memang benar adanya suatu saat semua ke-ada-an ku akan melebur, menyatu padu pada keluasan semesta-Nya? Lalu mengapa masih banyak gadis yang meratap akan ke-tidak sempurna-an itu, sementara mereka tidak memahami arti kesempurnaan pada hakikat esensi.
Bukan berarti aku merasa aku telah berada pada pemahaman yang paripurna. Bukan. Hanya saja nalarku terhenti pada remuk redam penderitaan gadis-gadis yang jiwanya terkoyak itu. Kehidupan sejatinya melahirkan makna pada setiap persepsi individu. Lantas, adilkah persepsi itu berhenti pada sebuah titik penghakiman akan dirinya?
Mari kita sepakati bahwa persepsi seseorang akan berbeda dengan persepsi orang lainnya. Persepsi dihasilkan oleh sudut pandang individu dalam merespon stimulus yang datang. Biasanya stimulus yang dicerna sangat bergantung pada pengalaman yang dimilikinya. Hakikat persepsi yang beragam itu lumrah terjadi, jika kita menyadari pengalaman yang dilalui pun berbeda.
Setiap harinya kita menemui orang yang berbeda, pengalaman yang berbeda hingga pribadi dan karakter yang berbeda pula. Hari ini izinkan aku bicara pada setiap perempuan yang masih menghakimi dirinya sendiri. Melalui persepsi ku dalam memandang dunia, melalui kemerdekaan ku mengapresiasi setiap bagian dari kamu, perempuan yang merasa kurang beruntung. Melalui cintaku pada hakikat paripurna yang kadang dinilai lebih rendah ketimbang esensi paripurna itu sendiri.
Melalui bahasa cintaku, izinkan aku menyapamu dengan sebutan “gadis”. Siapapun kamu, aku mengerti bagaimana rasanya menjadi berbeda karena kehilangan sesuatu yang menurut kebanyakan di luar sana, adalah cacat. Mari, ku ajak kamu mentertawai kejamnya mereka yang memicing tajam padamu tanpa ampun. Mari, kita tertawai sesuka hati kita. Mari...!
Gadisku yang baik, jangan pernah berkecil hati. Belajarlah memerdekakan dirimu sendiri. Jangan pasung pikiranmu dengan belenggu yang “kebanyakan” itu. Ingatlah, cibiran “kebanyakan” belum tentu benar, dan pola pikir “yang sedikit” belum tentu salah. Permainan benar-salah tidak akan pernah statis. “Benar-salah” lagi-lagi adalah produk persepsi. Dan seperti kataku tadi, persepsi sangat tergantung pada stimulus yang dicerna masing-masing individu melalui pengalamannya.
Gadis, jangan terpasung oleh doktrin gila manusia yang tidak bisa menghargai dirimu; yang tak akan pernah bisa ternilai oleh apapun. Mari ku antarkan untuk menjemput keberanianmu. Aku sangat paham bahwa kita sebagai perempuan akan lebih rentan mendapat stigma buruk yang diciptakan kebanyakan. Tapi, taukah kamu? Lagi-lagi ini adalah permainan persepi. Kita tidak usah menyalahkan mereka, karena kita juga harus bijak dalam bersikap dan berpikir. Mereka seperti itu bukan salah mereka. Pengalaman mereka lah yang membentuk persepsinya. Namun sayangnya, mereka kurang mengedepankan kebijaksanaan terhadap apa yang berbeda di luar mereka termasuk pola pikir dan persepsi kita yang bagi sebagian mereka, kita melawan arus. Biarlah dinamika itu terjadi, gadis...
Gadis, taukah kamu bahwa dari setiap perempuan yang silih berganti kutemui, ku jadikan mereka semua adalah laboratorium hidupku yang dari sana aku dapat  meng-observasi dunia dan seisinya. Gadis, kamu, aku dan kaum kita sangat menginspirasi ku untuk dapat berbuat banyak dalam melindungi dan membalut mereka apabila sudah terlanjur koyak-moyak jiwa raganya.
Setiap dari kita pasti mendambakan hidup yang ideal dan sempurna. Hidup yang ideal dan sempurna menurut kebanyakan adalah hidup yang berjalan baik-baik saja, sewajarnya, tanpa cacat dan cela.  Bukan begitu gadis? Adakah dari kita yang mendamba kehidupan hingar-bingar, kacau-balau dan berantakan? Adakah gadis? Tentu tidak. Pada standar-standar tertentu kita dan mereka di luar sana memiliki persepsi yang sama akan kehidupan yang ideal, wajar dan bersahaja.
Namun, sayangnya terkadang harapan tersebut tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Dari sanalah muncul permasalahannya. Entah bagaimana caranya, kamu yang tersandung dengan permasalahan itu, permasalahan yang lahir dari harapan hidup mu yang berbeda dengan realita; sebagian dari kamu menyikapinya dengan sangat bijak, menjadikannya batu loncatan untuk terus memperbaiki hidup dari waktu ke waktu ; namun sebagian lagi diantara kamu ada yang tetap tinggal, entah karena merasa masalah itu menjadi sumber yang akan menghambatmu di kemudian hari sehingga enggan melangkah keluar, atau karena kamu merasa sudah berada dalam keterlanjuran sehingga memutuskan untuk menjalani hidup seperti itu.
Gadis, aku yakin kamu memahami coretanku ini seperti aku yang dapat berempati pada permasalahanmu saat ini. Adakah yang salah dari sebuah “keterlanjuran” ? seperti kataku tadi, sejatinya harapan mu, harapan kita begitu bening layaknya embun pertama kali yang menetes di pagi hari. Namun, saat embun itu jatuh pada tanah dan debu lalu bercampur menjadi satu, apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak dapat melakukan apa-apa, gadis. Embun akan lebur dengan tanah dan debu itu. Kecuali kamu. Kamu yang istimewa saat ini, gadis.
Ku izinkan kamu berpikir, “dunia ini tidak adil”. Boleh. Tapi hanya satu detik saja. setelah itu mari kembali ku gandeng menjemput keberanianmu untuk keluar dalam penjara jiwamu. Begini, tidak kah kamu lelah mengutuki kebodohan dirimu? Kebodohan yang sebenarnya lahir dari persepsi yang sudah terlanjur berbaur dengan persepsi “kebanyakan” ; yang kataku di atas tadi belum tentu benarnya?. Norma? Peraturan? Moral? Doktrin kesucian? Barang-barang itu kah yang membelenggumu? Keberanianmu luntur karena kamu telah berhasil menciderai kesemua yang ku sebut di atas tadi? Jika iya, mari kembali lagi pada harapan dan realita yang selamanya tidak berbanding lurus. Aku yakin, se-yakin keyakinan ku pada Tuhan ku, bahwa kamu yang telah mengalami “keterlanjuran” itu juga memiliki harapan suci dan indah. Namun gadis, sudahilah jatuhmu pada lubang yang kedua kalinya. Pertama, lubang dimana kamu mengalami “keterlanjuran”. Kedua, saat kamu merasa “keterlanjuran” itu tidak bernilai bagi masa depan yang layak untuk dirimu.
Raga dalam kurun waktu tertentu pasti akan hancur lebur, namun jiwa yang terpelihara dalam kejernihan pikir dan sikap akan abadi dikenang sejarah. Aku paham, ke-khawatiran-mu; cemas tidak akan kamu temui lelaki bijaksana yang nurani dan akalnya berjalan beriringan, bukan? Tenanglah gadis, lelaki itu ada meskipun langka. Jika kamu mampu memerdeka-kan dirimu dan membebaskan pikiranmu dari belenggu itu, maka akan kamu temui uluran cinta di ujung jalan sana. Dan ku pastikan, kamu adalah kesempurnaan itu. Ya, ke-paripurna-an seorang manusia yang mampu berjalan mendobrak penjara nurani dan kesesatan berpikir yang diciptakan; dengan persepi kebanyakan tanpa dicerna oleh beragamnya pengalaman dan alasan atas pilihan hidup.
Aku juga memahami, tentu kamu akan berpikir bahwa kamu adalah limbah yang harus di daur ulang agar dapat menjadi pilihan layak untuk masa depan, bukan? Tidak ada yang perlu di daur ulang karena sejatinya kamu adalah kelopak mawar yang gugur satu persatu diterpa angin. Namun, harum mu masih tersentuh indera cium manusia. Dan kamu masih diberikan kesempatan untuk mekar sekali lagi dalam kelopak dan tangkai yang baru, andai kamu mau menyambutnya.
Gadis, hidup itu adalah untuk mereka yang pandai menerimanya. Maka pandai-pandailah menerima. Sadari dirimu bernilai lebih dari apapun. Sudahi penghakiman terhadap dirimu. Kamu berhak melangkah bahkan berlari sekencang yang kamu mau. Mari dobrak penjara penghakiman mata manusia, karena Tuhan pun tahu kamu seutuhnya melebihi apa yang manusia tahu tentangmu.
Gadis, kamulah mentariku. Seperti itulah aku memaknaimu. Sinarmu terus menginspirasiku. Dalam segala kondisi, kamu masih saja menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Menyinari dunia yang ku metafora-kan sebagai inspirasi tiada henti dalam meniti kehidupan yang hakiki. Terimakasih gadisku, catatan kecil ini untuk kaum kita yang masih ragu untuk melangkah dan terbang bersama kemerdekaannya...

Selatan Tangerang, 08 Mei 2017

@nasreenega




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel