CATATAN KECIL UNTUK GADISKU, MENTARI
2017-05-08
Bagiku, setiap langkah kaki
yang kutapaki di bumi ini adalah perjalanan panjang yang kita hanya boleh
mengistirahatkan diri sejenak untuk kemudian berjalan lagi. Saat ini aku tidak
begitu peduli pada hancur-lebur dan koyak-moyak raga di setiap incinya.
Bukankah memang benar adanya suatu saat semua ke-ada-an ku akan melebur,
menyatu padu pada keluasan semesta-Nya? Lalu mengapa masih banyak gadis yang
meratap akan ke-tidak sempurna-an itu, sementara mereka tidak memahami arti
kesempurnaan pada hakikat esensi.
Bukan berarti aku merasa
aku telah berada pada pemahaman yang paripurna. Bukan. Hanya saja nalarku
terhenti pada remuk redam penderitaan gadis-gadis yang jiwanya terkoyak itu.
Kehidupan sejatinya melahirkan makna pada setiap persepsi individu. Lantas,
adilkah persepsi itu berhenti pada sebuah titik penghakiman akan dirinya?
Mari kita sepakati bahwa
persepsi seseorang akan berbeda dengan persepsi orang lainnya. Persepsi
dihasilkan oleh sudut pandang individu dalam merespon stimulus yang datang.
Biasanya stimulus yang dicerna sangat bergantung pada pengalaman yang
dimilikinya. Hakikat persepsi yang beragam itu lumrah terjadi, jika kita
menyadari pengalaman yang dilalui pun berbeda.
Setiap harinya kita
menemui orang yang berbeda, pengalaman yang berbeda hingga pribadi dan karakter
yang berbeda pula. Hari ini izinkan aku bicara pada setiap perempuan yang masih
menghakimi dirinya sendiri. Melalui persepsi ku dalam memandang dunia, melalui
kemerdekaan ku mengapresiasi setiap bagian dari kamu, perempuan yang merasa
kurang beruntung. Melalui cintaku pada hakikat paripurna yang kadang dinilai
lebih rendah ketimbang esensi paripurna itu sendiri.
Melalui bahasa cintaku,
izinkan aku menyapamu dengan sebutan “gadis”. Siapapun kamu, aku mengerti
bagaimana rasanya menjadi berbeda karena kehilangan sesuatu yang menurut
kebanyakan di luar sana, adalah cacat. Mari, ku ajak kamu mentertawai kejamnya
mereka yang memicing tajam padamu tanpa ampun. Mari, kita tertawai sesuka hati
kita. Mari...!
Gadisku yang baik, jangan
pernah berkecil hati. Belajarlah memerdekakan dirimu sendiri. Jangan pasung
pikiranmu dengan belenggu yang “kebanyakan” itu. Ingatlah, cibiran “kebanyakan”
belum tentu benar, dan pola pikir “yang sedikit” belum tentu salah. Permainan
benar-salah tidak akan pernah statis. “Benar-salah” lagi-lagi adalah produk
persepsi. Dan seperti kataku tadi, persepsi sangat tergantung pada stimulus
yang dicerna masing-masing individu melalui pengalamannya.
Gadis, jangan terpasung
oleh doktrin gila manusia yang tidak bisa menghargai dirimu; yang tak akan
pernah bisa ternilai oleh apapun. Mari ku antarkan untuk menjemput
keberanianmu. Aku sangat paham bahwa kita sebagai perempuan akan lebih rentan
mendapat stigma buruk yang diciptakan kebanyakan. Tapi, taukah kamu? Lagi-lagi
ini adalah permainan persepi. Kita tidak usah menyalahkan mereka, karena kita
juga harus bijak dalam bersikap dan berpikir. Mereka seperti itu bukan salah
mereka. Pengalaman mereka lah yang membentuk persepsinya. Namun sayangnya,
mereka kurang mengedepankan kebijaksanaan terhadap apa yang berbeda di luar
mereka termasuk pola pikir dan persepsi kita yang bagi sebagian mereka, kita
melawan arus. Biarlah dinamika itu terjadi, gadis...
Gadis, taukah kamu bahwa
dari setiap perempuan yang silih berganti kutemui, ku jadikan mereka semua
adalah laboratorium hidupku yang dari sana aku dapat meng-observasi
dunia dan seisinya. Gadis, kamu, aku dan kaum kita sangat menginspirasi ku
untuk dapat berbuat banyak dalam melindungi dan membalut mereka apabila sudah
terlanjur koyak-moyak jiwa raganya.
Setiap dari kita pasti
mendambakan hidup yang ideal dan sempurna. Hidup yang ideal dan sempurna
menurut kebanyakan adalah hidup yang berjalan baik-baik saja, sewajarnya, tanpa
cacat dan cela. Bukan begitu gadis?
Adakah dari kita yang mendamba kehidupan hingar-bingar, kacau-balau dan
berantakan? Adakah gadis? Tentu tidak. Pada standar-standar tertentu kita dan
mereka di luar sana memiliki persepsi yang sama akan kehidupan yang ideal,
wajar dan bersahaja.
Namun, sayangnya
terkadang harapan tersebut tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang
terjadi. Dari sanalah muncul permasalahannya. Entah bagaimana caranya, kamu
yang tersandung dengan permasalahan itu, permasalahan yang lahir dari harapan
hidup mu yang berbeda dengan realita; sebagian dari kamu menyikapinya dengan
sangat bijak, menjadikannya batu loncatan untuk terus memperbaiki hidup dari
waktu ke waktu ; namun sebagian lagi diantara kamu ada yang tetap tinggal,
entah karena merasa masalah itu menjadi sumber yang akan menghambatmu di
kemudian hari sehingga enggan melangkah keluar, atau karena kamu merasa sudah
berada dalam keterlanjuran sehingga memutuskan untuk menjalani hidup seperti
itu.
Gadis, aku yakin kamu
memahami coretanku ini seperti aku yang dapat berempati pada permasalahanmu
saat ini. Adakah yang salah dari sebuah “keterlanjuran” ? seperti kataku tadi,
sejatinya harapan mu, harapan kita begitu bening layaknya embun pertama kali
yang menetes di pagi hari. Namun, saat embun itu jatuh pada tanah dan debu lalu
bercampur menjadi satu, apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak dapat melakukan
apa-apa, gadis. Embun akan lebur dengan tanah dan debu itu. Kecuali kamu. Kamu
yang istimewa saat ini, gadis.
Ku izinkan kamu berpikir,
“dunia ini tidak adil”. Boleh. Tapi hanya satu detik saja. setelah itu mari
kembali ku gandeng menjemput keberanianmu untuk keluar dalam penjara jiwamu.
Begini, tidak kah kamu lelah mengutuki kebodohan dirimu? Kebodohan yang
sebenarnya lahir dari persepsi yang sudah terlanjur berbaur dengan persepsi
“kebanyakan” ; yang kataku di atas tadi belum tentu benarnya?. Norma?
Peraturan? Moral? Doktrin kesucian? Barang-barang itu kah yang membelenggumu?
Keberanianmu luntur karena kamu telah berhasil menciderai kesemua yang ku sebut
di atas tadi? Jika iya, mari kembali lagi pada harapan dan realita yang
selamanya tidak berbanding lurus. Aku yakin, se-yakin keyakinan ku pada Tuhan
ku, bahwa kamu yang telah mengalami “keterlanjuran” itu juga memiliki harapan
suci dan indah. Namun gadis, sudahilah jatuhmu pada lubang yang kedua kalinya.
Pertama, lubang dimana kamu mengalami “keterlanjuran”. Kedua, saat kamu merasa
“keterlanjuran” itu tidak bernilai bagi masa depan yang layak untuk dirimu.
Raga dalam kurun waktu
tertentu pasti akan hancur lebur, namun jiwa yang terpelihara dalam kejernihan
pikir dan sikap akan abadi dikenang sejarah. Aku paham, ke-khawatiran-mu; cemas
tidak akan kamu temui lelaki bijaksana yang nurani dan akalnya berjalan
beriringan, bukan? Tenanglah gadis, lelaki itu ada meskipun langka. Jika kamu
mampu memerdeka-kan dirimu dan membebaskan pikiranmu dari belenggu itu, maka
akan kamu temui uluran cinta di ujung jalan sana. Dan ku pastikan, kamu adalah
kesempurnaan itu. Ya, ke-paripurna-an seorang manusia yang mampu berjalan mendobrak
penjara nurani dan kesesatan berpikir yang diciptakan; dengan persepi
kebanyakan tanpa dicerna oleh beragamnya pengalaman dan alasan atas pilihan
hidup.
Aku juga memahami, tentu
kamu akan berpikir bahwa kamu adalah limbah yang harus di daur ulang agar dapat
menjadi pilihan layak untuk masa depan, bukan? Tidak ada yang perlu di daur
ulang karena sejatinya kamu adalah kelopak mawar yang gugur satu persatu
diterpa angin. Namun, harum mu masih tersentuh indera cium manusia. Dan kamu
masih diberikan kesempatan untuk mekar sekali lagi dalam kelopak dan tangkai
yang baru, andai kamu mau menyambutnya.
Gadis, hidup itu adalah
untuk mereka yang pandai menerimanya. Maka pandai-pandailah menerima. Sadari
dirimu bernilai lebih dari apapun. Sudahi penghakiman terhadap dirimu. Kamu
berhak melangkah bahkan berlari sekencang yang kamu mau. Mari dobrak penjara
penghakiman mata manusia, karena Tuhan pun tahu kamu seutuhnya melebihi apa
yang manusia tahu tentangmu.
Gadis, kamulah mentariku.
Seperti itulah aku memaknaimu. Sinarmu terus menginspirasiku. Dalam segala
kondisi, kamu masih saja menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Menyinari
dunia yang ku metafora-kan sebagai inspirasi tiada henti dalam meniti kehidupan
yang hakiki. Terimakasih gadisku, catatan kecil ini untuk kaum kita yang masih
ragu untuk melangkah dan terbang bersama kemerdekaannya...
Selatan Tangerang, 08 Mei 2017