PENYEMBUHAN JIWA MASSAL USAI PEMILU
2019-05-12
Oleh : Megawaty
(Ketua umum PP
Wanita Pertahanan Ideologi Syarikat Islam)
Kontroversi Pemilu serentak & Polarisasi mencuri fokus Negara
Perhelatan pemilu 2019 telah usai. Pemilihan umum yang kali ini digelar
secara serentak ; dimulai dari pemilihan presiden dan legislatif dari tingkatan
daerah hingga pusat, menuai pro dan kontranya sendiri. Pemilihan elektoral kali
ini membutuhkan fokus dan kinerja ekstra bagi para penyelenggara pemilu guna
dapat menyukseskan agenda lima tahunan tersebut. Pada pemberitaan pasca pemilu
kali ini ramai dengan berita efektivitas pemilu serentak tidak mumpuni bagi
para penyelenggara pemilu.
Bergugurannya para petugas penyelenggara pemilu menimbulkan banyak
kontroversi. Dimulai dari anggapan pemilu serentak hanya menghemat anggaran
tanpa memperhatikan segi humanistik individu hingga pemilu serentak dinilai
kurang persiapan guna menciptakan pemilu yang damai dan bebas dari segala upaya
yang menimbulkan perpecahan.
Pemilihan umum yang menimbulkan banyak korban jiwa merupakan efek domino
dari sebuah polarisasi besar yang sedang terjadi saat ini. Terjadinya
polarisasi menjerat kita pada pengkotakan yang terjadi di dalam masyarakat. Dua
kubu yang tengah berkompetisi memperebutkan kursi yang sama memicu euforia
warga dalam pesta demokrasi tersebut.
Dikotomi yang hadir mencuri fokus semua orang.
Polarisasi dimulai pada pemilu 2004 hingga pemilu 2019. Hal tersebut
seakan mencitrakan pertarungan itu adalah pertarungan abadi yang digencarkan
oleh pihak petahana dan oposisi.
Euforia demokrasi berlangsung dengan berbagai konflik di dalamnya. Kedua
kubu yang seakan membuat blok masing-masing ini saling hajar dengan black
campaign yang sama-sama menuai rasa permusuhan. Dimulai melalui celah
isu sara, hoax berkepanjangan hingga ujaran kebencian secara terus menerus. Berbulan-bulan
media kita menyuguhkan tayangan dan drama tanpa ujung. Pengkotakan itu pula
yang menyandra kita pada idiom berkonotasi buruk "cebong-kampret" dan
ujaran kebencian lainnya. Semua dibranding demi kepentingan dua kubu.
Perhatian yang dicuri oleh kesibukan saling serang itu, membuat kita
terlupa bahwa ada persoalan humanis yang terlewatkan. Korban berguguran akibat
kelelahan dalam prosesi pengawalan pemilu oleh penyelenggara pemilu. Pun
alih-alih korban gugur, kita menganggapnya seperti suatu hal yang biasa saja.
Lebih menarik pertarungan siapa menang dan kalah dari kedua kubu. Miris, sisi
humanis kita telah padam.
Dinamika pemilu menyakiti mental bangsa
Dengan banyaknya suguhan percaturan politik dua blok ini memaksa kita untuk
ikut ke dalamnya. Kita terjebak pada kondisi yang tidak dapat memberikan
pilihan lain untuk menentukan masa depan bangsa. Namun pada orang yang mulai
lelah dengan tontonan drama panjang ini lebih memilih untuk menjadi golongan
orang-orang yang tidak memilih atau kita menyebutnya dengan golput ; golongan
putih. Golongan tersebut merupakan sikap pesimis yang terjadi dan berujung
pada sikap antipati. Pesimis pada siapapun yang terpilih, Indonesia tetap tidak
dalam keadaan baik-baik saja.
Fokus yang tertuju pada pertarungan sengit, agresi dan pandangan
destruktif-lah yang saat ini kita nikmati bersama. Rasa pesimis dan apatis pun
timbul pada sisi lainnya. Kondisi mental bangsa sedang dalam keadaan sakit dan
krisis. Keadaan ini disebabkan dari dinamika kelompok yang terjadi dan
membentuk ketegangan pada masing-masing individu.
Pada suatu konsepsi, Floyd D. Ruch dalam bukunya, Psychology and life mengatakan bahwa dinamika kelompok adalah
analisis dari hubungan kelompok sosial berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku
dan kelompok adalah hasil interaksi yang dinamis antara individu- individu
dalam situasi sosial. Hematnya seperti ini, dalam suatu kelompok kita akan
membuat in-group yang dibangun bersasarkan interaksi dan keterhubungan
serta minat yang sama.
Lalu, kelompok yang telah membuat struktur dan in-group nya masing-
masing akan mengadakan saingan dan saling memghambat usaha masing- masing. Dari
sinilah akan terbentuk sikap negatif, prasangka dan setereotipe terhadap
kelompok yang menjadi out group kita. Dinamika kelompok
yang digambarkan tersebut adalah analisis wajar yang terbangun. Namun
sayangnya, pandangan negatif yang berlebihan pada out group yang harus
diwaspadai. Prasangka tersebut menuntun kita pada mental yang sakit jika sudah
ada motif destruktif di dalamnya.
Bangsa kita dibangun dalam semangat kebhinekaan, semangat persatuan dan
perjuangan yang luar biasa untuk bangkit dari penindasan. Mungkinkah karena
dinamika kelompok yang terjadi, kita melupakan prinsip dan tujuan kita
berbangsa dan bernegara?
Distorsi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dan AS
Melihat situasi yang ada, Indonesia harus banyak belajar dari negara maju
yang "katanya" menjadi
panutan dalam berdemokrasi dan berpolitik. Secara gamblang, Indonesia masih
meniru sistem pemerintahan negara adidaya, Amerika serikat. Namun nyatanya,
pada praktiknya Indonesia dinilai belum siap secara infrastruktur dan mental.
Berkaca pada skandal Watergate di tahun 1970- an di
Amerika Serikat yang membuat krisis konstitusi dan mengakibatkan Presiden
Richard Nixon mengundurkan diri. Skandal tersebut dimulai dari penangkapan lima
laki-laki yang berusaha masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat
untuk memasang alat penyadap.
Setelah dilakukan penyelidikan, peristiwa tersebut dilakukan karena
konspirasi Partai Republik terhadap partai demokrat. Bertujuan agar bisa
merugikan partai demokrat dan upaya agar Nixon dapat terpilih lagi dalam
Komite Pemilihan Presiden. Selain itu ditemukan juga skandal korupsi yang
dilakukan oleh Nixon. Mahkamah agung mendapatkan bukti berupa rekaman terkait
skandal Nixon tersebut. Setelah itu, komite yang dibentuk oleh kongres
mengeluarkan impeachment atau tuntutan agar presiden berhenti dari
jabatannya. Pada akhirnya, Nixon mengundurkan diri.
Dari kilas balik skandal Watergate kita harus mampu
membandingkan perbedaan kontras antara Indonesia dan AS. Kendati meniru sistem
politik dengan pemilihan elektoral yang demokratis, namun sayangnya Indonesia
hanya terkesan latah dan ikut-ikutan. Hal ini sangat berisiko terhadap
Indonesia yang majemuk. Khususnya untuk posisi Mahkamah Agung, di Amerika
posisi itu merupakan jabatan seumur hidup dan tidak dibawah presiden. Sehingga
bisa bertindak atas nama hukum untuk mengadili Presiden sekalipun. Sementara di
Indonesia seorang hakim agung itu adalah menteri dalam sebuah kabinet yang disusun
secara politis. Pertanyaannya siapa yang akan menjadi penjaga sistem perpolitikan
di Indonesia ketika terjadi accident?
Civil Society sebagai Pilar Ketiga
Menjawab problematika yang terjadi karena polarisasi negara saat ini,
sementara lembaga negara pun tidak bisa berperan lebih guna menengahi kericuhan
sosial saat ini. Kita harus mengingat tentang pilar ketiga yang hampir
terlupakan. Konsep Civil Society atau Masyarakat Madani yang sering dipaparkan Cak
Nurcholis Madjid pada setiap pidatonya merancang bahwa berhimpunnya Social
movement, Political movement dan posisi Moral force sebagai
penghubung kedua sayap Civil society tersebut akan menjadi
cikal bakal penggerak dan kunci penyelesaian dalam kehidupan bernegara.
Sering kita lihat dominasi pemerintah dan bisnis menjadi sumber dan
motivasi untuk melanggengkan kekuasaan. Itulah salah satu alasan mengapa
polarisasi terjadi dengan sangat sengit. Hanya saja, motif dari polarisasi
tersebut dikemas dengan sangat rapi sehingga tidak memunculkan kesan demikian. Civil
Society harus mampu menjadi jawaban atas kebingungan masal yang
terjadi. Karena melalui Civil Society lah idealisme
dibangun. Di dalamnya terdapat golongan intelektual dan agen perubah yang harus
mampu menjadi penyambung lidah rakyat. Selain itu politik keterbukaan harus
turut menjadi kunci agar sakit mental bangsa ini lekas terobati.
Konsolidasi Demokrasi
Terakhir, yang dapat disampaikan adalah proses rekonsiliasi yang kita kenal
sebagai proses penyembuhan dan penyatuan kembali. Berbesar hati untuk menerima
dan menjalankan kehidupan bernegara agar tercapai stabilitas negara pasca
kondisi genting. Rekonsiliasi dapat kita lakukan dengan upaya mendorong pihak
pihak yang berhadapan untuk kemudian membangun satu kondisi yang harmonis, positif
, penuh tanggung jawab pasca pemilu.
Upaya upaya yang dapat di lakukan antara lain adalah : Pertama, Membuka
ruang dialektika yang sehat antara penguasa dan oposisi, bahwa negara yang di
wakili pemerintah adalah institusi publik, tidak boleh menghindar dari kritik
publik yang di lakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah dengan perangkatnya
tidak boleh represif atas hal itu.
Kedua, Memberikan peran-peran strategis kepada anak bangsa pada konteks
pembangunan nasional, untuk menumbuhkan satu tanggung jawab bersama dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga, Leader group harus
berusaha untuk mengarahkan pikiran masyarakat menjadi konstruktif dalam cara
pandang atas realitas yang terjadi.
Dengan adanya ketiga poin konsolidasi demokrasi tersebut, akan membantu
dengan cepat pulihnya mental bangsa. Rekonsiliasi atau sering kita kenal
dengan "Pemaafan" pasca konflik sangat penting bagi kehidupan
bernegara.
McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa
pemaafan merupakan motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas
dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang
menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan
pihak yang menyakiti.
Rekonsiliasi merupakan terapi mental yang baik bagi bangsa. Penerimaan yang
baik terhadap hasil keputusan yang terjadi merupakan cara menjadi negarawan
yang memiliki jiwa besar. Pun pada pengamalannya dibutuhkan kesadaran
masif bagi setiap elemen yang turut mengikuti euforia pesta demokrasi dari awal
hingga akhir.
Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai
persatuan yang terbangun dari seluruh kemajemukan yang ada. Berbeda adalah
suatu kelumrahan, tetapi tetap komitmen terhadap keutuhan adalah suatu
keniscayaan negarawan sejati.
Dimuat di Harian Pakuan Raya edisi- 3.457 (Senin, 13 Mei 2019)